Pengetahuan Geografis
A. Letak Geografis, Astronomis, Administratif
Letak Geografis Tanah Minahasa
Minahasa berada di bagian tenggara benua Asia di sub-benua Asia
Tenggara. Di jazirah Asia Tenggara membentang Kepulauan Nusantara dari
barat ke timur. Salah satu pulau dari kepulauan Nusantara yang sebagian
besar berada di dalam pemerintahan negara Republik Indonesia adalah
pulau Sulawesi. Pulau Sulawesi sendiri berbentuk huruf ‘k’ dan Minahasa
sendiri terletak di bagian ujung Utara kawasan pulau Sulawesi mengarah
ke arah Timur-laut.
Letak Astronomis Tanah Minahasa
Tanah Minahasa ini berada di antara 0º 25’ 1’’ – 1º 51’ 40’’ Lintang Utara dan 124º 18’ 40’’ – 125º 21’ 30’’ Bujur Timur.
Batas Bujur Lintang Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota di Minahasa
Daerah * Lintang Utara * Bujur Timur
Sulawesi Utara 00°15’51” - 05°34’06” 123°07’00” - 127°10’30”
Minahasa 01°01’00” - 01°29’00” 124°34’00” - 125°05’00”
Minahasa Selatan 00°45’30” - 01°22’00” 124°18’00” - 124°54’00”
Minahasa Utara 01°18’30” - 01°53’00” 124°44’00” - 125°11’00”
Minahasa Tenggara 00°50’24” - 01°07’12” 124°33’00” - 124°54’36”
Kota Manado 01°25’43” - 01°38’56” 124°40’55” - 124°55’54”
Kota Bitung 01°23’25” - 01°35’39” 125°01’43” - 125°18’13”
Kota Tomohon 00°15’00” - 00°24’00” 124°44’30” - 125°17’30”
Sumber : Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi Utara
Catatan : Dihitung menggunakan Peta Rupa Bumi Skala 1 : 50.000
B. Batas dan Luas
Batas-batas Tanah Minahasa
Bagian
Utaranya berbatasan laut dengan Laut Sulawesi dengan gugusan Kepulauan
Sangihe dan Talaud dengan batas administratif Kabupaten Kepulauan Siau,
Tagulandang, Biaro (Sitaro). Bagian Barat juga berbatasan laut dengan
Laut Sulawesi, bagian Timurnya berbatasan laut dengan Laut Maluku.
Sedangkan bagian Selatannya berbatasan darat dengan tanah
Bolaang-Mongondow dengan batas administratif Kabupaten Bolaang Mongondow
(Bolmong) dan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim).
Luas Tanah Minahasa
Luas Tanah Minahasa sekitar 5.220 km² atau 4.651,11 km² (di mana
Kabupaten Minahasa 1.025,85 km², Kabupaten Minahasa Selatan 1.368,41
km², Kabupaten Minahasa Utara 937,65 km², Kabupaten Minahasa Tenggara
710,7 km², Kota Manado 158 km², Kota Bitung 304 km², Kota Tomohon 146,60
km²). Dengan demikian luas Tanah Minahasa adalah 1/40 luas Pulau
Sulawesi. Provinsi Sulawesi Utara sendiri luasnya 15.277,16 km2 dengan
panjang garis pantainya adalah 1.837 km. Dibandingkan dengan luas pulau
Sulawesi, yang hanya 1/40 besar pulau, ukuran luas Minahasa masih lebih
besar dari beberapa negara kecil di dunia. Masih ada 29 negara yang
ukuran luasnya lebih kecil dari luas Minahasa, bahkan ada 5 negara yang
luasnya lebih kecil dari Kota Manado dan Kota Tomohon.
Perbandingan luas Tanah Minahasa
Perbandingan Luas Daerah Tanah Minahasa dengan Beberapa Negara Kecil dan Negara Penting lainnya:
Negara * Ibukota * Letak * Luas
Vatikan Vatican City Eropa (Roma) 0,4 km²
Monaco Monaco Eropa Selatan 1,8 km²
Nauru Yaren District Samudera Pasifik 22 km²
Tuvalu Funafuti Samudera Pasifik 26 km²
San Marino San Marino Eropa (Italia) 62 km²
Kota LANGOWAN Langowan Indonesia 125 km²
Kota TOMOHON Tomohon Indonesia 146 km²
Kota MANADO Wenang Indonesia 158 km²
Liechtenstein Vaduz Eropa Tengah 158 km²
Maladewa/Maldives Male Samudera Hindia 298 km²
Kota BITUNG Bitung Indonesia 304 km²
Malta Valetta Laut Mediterania 313 km²
Saint Christopher Basseterre Laut Karibia 320 km²
Grenada St. George's Laut Karibia 344 km²
Kota AMURANG Amurang Indonesia 345 km²
St. Vincent & Grenadies Kingstown Laut Karibia 389 km²
Barbados Bridgetown Laut Karibia 431 km²
Antigua & Barbuda St. John's Laut Karibia 442 km²
Seychelles Victoria Samudera Hindia 443 km²
Andorra Andorra La Vela Eropa Barat 466 km²
Palau Koror Samudera Pasifik 494 km²
Sao Tome & Principe Sao Tome Samudera Pasifik 564 km²
Singapura Singapore City Asia Tenggara 585 km²
Saint Lucia Castries Laut Karibia 616 km²
Bahrain Manama Teluk Persia 660 km²
Kiribati Tarawa Samudera Pasifik 684 km²
Minahasa Tenggara Ratahan Indonesia 710 km²
Mikronesia Pohnpei Samudera Pasifik 721 km²
Minahasa Utara Airmadidi Indonesia 938 km²
Tonga Nuku'alofa Samudera Pasifik 997 km²
Antillen Wellemstad Laut Karibia 1.020 km²
Kab. Minahasa Tondano Indonesia 1.026 km²
Hongkong SAR Hong Kong Samudera Pasifik 1.066 km²
Minahasa Selatan Amurang Indonesia 1.369 km²
Mauritius/Mauritania Port Louis Samudera Hindia 2.038 km²
Komoro (Kepulauan) Moroni Samudera Hindia 2.274 km²
Luxembourg Luxembourg Eropa Barat 2.590 km²
Samoa Barat Apia Samudera Pasifik 2.934 km²
Tanjung Verde Praia Samudera Atlantik 4.040 km²
Tanah MINAHASA Manado Asia Tenggara 4.786 km²
Cyprus Nikosia Laut Mediterania 5.251 km²
Brunei Darussalam Bandar Seri Begawan Asia Tenggara 5.765 km²
Libanon Beirut Timur Tengah 10.399 km²
Sulawesi Utara Manado Indonesia 13.276 km² (2,8 x)
Timor Leste Dilli Asia Tenggara 14.615 km² (3 x)
Bab II. Pengetahuan Demografis
A. Penduduk
Apa sebab orang Minahasa secara adat & budaya disebut Bangsa Minahasa ?
Karena
asal usul anthropologis orang Minahasa sama; yang berdiam dalam satu
daerah yang batas-batas geografis jelas; dan yang disatukan oleh satu
idealisme sosial, politik, ekonomi, budaya bahasa dan agama yang sama.
B. Jumlah Penduduk
Penduduk
Tanah Minahasa pada tahun 2008 berjumlah 1.440.686 jiwa, dengan
perincian: Kabupaten Minahasa 298.179 jiwa, Minahasa Selatan 182.292
jiwa, Minahasa Utara 174.455 jiwa, Minahasa Tenggara 95.145 jiwa, Kota
Manado 429.149 jiwa, Kota Bitung 178.266 jiwa, dan Kota Tomohon 83.200
jiwa.
Tabel Perbandingan Distribusi dan Kepadatan Penduduk di Minahasa Tahun 2008
Kabupaten/Kota Penduduk Luas Kepadatan
(jiwa) (km²) (per km²)
Kab. Minahasa 298.179 1.025,85 290,67
Kab. Minahasa Selatan 182.292 1.368,41 133,21
Kab. Minahasa Utara 174.455 937,65 186,06
Kab. Minahasa Tenggara 95.145 710,69 133,88
Kota Manado 429.149 157,91 2.717,68
Kota Bitung 178.266 304,00 586,40
Kota Tomohon 83.200 146,60 567,53
Sulawesi Utara 2.208.012 15.273,10 144,57
Sumber : Badan Pusat Statistik Sulut. 2009. Sulawesi Utara Dalam Angka 2009. Manado
C. Suku
Bangsa
Minahasa terdiri dari empat sub-etnis (suku/etnis) besar sebagai etnis
utama (asli), yaitu Tountemboan, Tombulu, Toulour/Tondano dan Tonsea.
Kemudian sub-sub etnis yang berdiam di selatan Minahasa seperti
Tonsawang, Ratahan-Pasan (Pasan Wangko) dan Ponosakan sebagai sub-etnis
campuran. Terakhir sub-etnis Bantik sebagai suku pendatang dari Sulawesi
Tengah. Pada saat ini, etnis Babontehu diterima sebagai sub-etnis
Minahasa bersama dengan orang Borgo. Dalam versi orang Tountemboan atau
generasi Minahasa sebelumnya menganggap bangsa Minahasa terdiri dari 7
sub etnis, yaitu Tonsea, Tombulu, Toulour, Tonsawang,
Pasan-Ratahan-Ponosakan, dan Bantik.
Sub-etnis Tondano atau Toulour,
mendiami daerah sekeliling Danau Tondano sampai di pantai Timur
Minahasa (Tondano pante) yaitu daerah Tondano, Kombi, Eris, Lembean
Timur, Kakas, Remboken. Pakasaan-Toulour terbagi atas dua walak yaitu
Tondano-Toulimambot di bagian barat dan Tondano Touliang di bagian
barat, serta walak Remboken (campuran orang Tondano dengan orang
Tombulu) dan walak Kakas (campuran orang Tondano dengan orang
Tountemboan).
Sub-etnis Tonsea,
berada di Minahasa bagian Utara yang dahulu sebagai pakasaan
Tonsea/Tontewoh dengan satu walak Tonsea, serta Kalawat Atas, Kalawat
Wawa (Klabat di Bawah) di Paniki, dan Likupang. Daerah suku ini meliputi
daerah Airmadidi, Kauditan, Kema, Bitung, Tatelu, Talawaan, Likupang,
Maumbi, Kalawat.
Sub-etnis Tombulu
berpusat di Tomohon yang mendiami daerah Kota Tomohon, kecamatan
Tombariri, kecamatan Pineleng dan kecamatan Tombulu, kecamatan Wori, dan
pusat Kota Manado. Sub-etnis bagian pakasaan Tombulu yang memiliki enam
walak, yaitu Tomohon/Tou Muung, Sarongsong, Tombariri, Kakaskasen,
Ares, dan Kalawat Wawa’ (Klabat di Bawah) yang kemudian diduduki orang
Tonsea.
Sub-etnis Tountemboan
berkedudukan di Minahasa bagian Selatan yang mendiami daerah Langowan,
Tompaso, Kawangkoan, Sonder, Tareran, Tumpaan, Amurang, dan daerah di
sepanjang kuala Ranoyapo yaitu di daerah Motoling, Kumelembuai,
Ranoyapo, Tompaso Baru, Modoinding, Tenga dan Sinonsayang. Suku ini
berasal dari Pakasaan Tompakewa yang terdiri dari walak Tompaso,
Langowan, Tombasian, Rumoong, Tongkimbut bawah (Kawangkoan) dan
Tongkimbut atas (Sonder). Dahulu kala Tountemboan sering disebut
Tompakewa, atau juga Tongkimbut (karena Walak Tongkimbut merupakan walak
terbesar di Tountemboan saat itu).
Sub-etnis Tonsawang atau Toundanouw,
berada di daerah administratif kecamatan Tombatu dan Touluaan. Leluhur
dari puak ini diperkirakan datang dari pulau kecil Mayu dan Tafure di
selat Maluku yang mendarat di Atep (Tondano pante) kemudian beralih ke
Tompaso kemudian beralih ke tempat sekarang. Mereka menyebut
sub-etnisnya sebagai orang Toundano. Kaum Tonsawang menyebut diri mereka
Toundanow, namun lebih dikenal oleh orang Minahasa lain sebagai
orang/suku Tonsawang atau Tombatu. Pada mulanya mereka dikenal bangsa
Malesung sebagai Tousini. Berdasarkan legenda, asal usul mereka berasal
dari dua kelompok: kelompok pertama datang dari barat daerah Tontemboan
di Teluk Amurang maupun dari Pontak dan kelompok kedua datang dari tepi
utara danau Tondano. Yang berasal dari utara terbagi dua, yaitu dari
kampung Luaan yang dipimpin oleh pamatuan Dotu Mamosey dan kedua dari
kampung Betelen yang dipimpin oleh pamatuan Dotu Kamboyan.
Sub-etnis Ratahan dan Pasan,
berada di sekitar kota Ratahan. Sub-etnis Ratahan atau Pasan-Wangko,
atau Pasan-Ratahan. Sub-etnis Ratahan berada di kampung-kampung
Ratahan/Tosuraya, Wioi, Wiau, Wongkai, Rasi, Molompar, Wawali, Minanga
dan Bentenan, dan sub-etnis Pasan berada di kampung Towuntu, Liwutung,
Tolambukan dan Watulinei.
Sub-etnis Ponosakan
berada di kecamatan Belang dan kecamatan Ratatotok yaitu di kampung
Belang, Basaan, Ratatotok dan Tumbak serta sebagian kampung Watuliney
dan Tababo. Suku ini merupakan satu-satunya sub-etnis di Minahasa yang
beragama Islam.
Sub-etnis Bantik
berada di daerah sekitar Manado, yaitu di barat daya Manado seperti
Malalayang dan Kalasei dan di sebelah utara Manado seperti Buha,
Bengkol, Talawaan Bantik, Bailang, Molas, Meras, serta Tanamon di
kecamatan Sinonsayang Minsel. Suku ini berlainan sekali bahasa, adat
kebiasaan dan roman muka dari suku-suku lain di Minahasa. Suku ini
berasal dari Sulawesi Tengah, kemudian bermukim di Bolaang Mongondow.
Orang Malesung dan Minahasa tempo dulu mengenal serta menyebut mereka
sebagai kaum Toumini yang datang dari sekitar Teluk Tomini di Sulawesi
Tengah. Kemudian mereka datang di Minahasa sebagai tentara bantuan
Bolmong untuk memerangi suku-suku Minahasa. Ketika tentara Bolmong
dikalahkan di Maadon, Lilang (Kema) maka suku ini menetap di sekitar
teluk Manado. Sampai tahun 1850 mereka diam-diam membayar upeti kepada
raja Bolmong. Oleh karena itu zendeling Graafland dahulu menyebut mereka
sebagai tentara-budak kerajaan Bolaang Mongondow.
Sub-etnis Babontehu
berada di kepulauan sebelah barat laut Minahasa. Dahulu sub-etnis ini
berada di bawah satu kerajaan tersendiri bernama Kedatuan/Kerajaan
Manado yang berpusat di pulau Manado tua. Orang Babontehu terkenal
sebagai pelaut ulung. Kepala mereka disebut kolano (raja). Karena
dikalahkan Kerajaan Bolaang Mongondow, mereka terusir dari sana dan
serta sejumlah besar berpindah menetap di kepulauan Siau/Sangihe. Hanya
sekitar 40 keluarga yang dipindahkan kompeni VOC ke Sindulang sekitar
abad XVII.
Ada juga beberapa kelompok kecil yang telah lama
berasimilasi dengan orang Minahasa sehingga mereka dianggap sebagai
bagian dari Minahasa. Orang Borgo dulunya adalah serdadu sipil masa VOC
dan Hindia Belanda, merupakan campuran orang Eropa, Afrika Selatan, Asia
dan lain-lain dengan Minahasa. Orang Kampung Jawa Tondano (Jaton) yang
menetap di timur laut Tondano merupakan campuran dari bangsa Jawa
pengikut Pangeran Diponegoro dan Kyai Modjo yang kawin dengan
gadis-gadis Minahasa. Selain itu terbentuk juga Kampung Jawa di Tomohon
dan di Pineleng terbentuk pemukiman pengikut Imam Bonjol.
D. Bahasa
Bahasa pergaulan (lingua franca): Bahasa Melayu Manado
Bahasa resmi: Bahasa Indonesia
Bahasa Daerah Minahasa
Bahasa
Minahasa adalah bahasa daerah asli Minahasa yang terdiri dari bahasa
rumpun induk Minahasa, yaitu bahasa Tontemboan, bahasa Tombulu, bahasa
Tonsea, bahasa Toulour/Tondano, serta bahasa dari masing-masing suku
tambahan, yaitu bahasa Tonsawang, bahasa Ratahan/Pasan, bahasa
Ponosakan, dan bahasa Bantik.
Diagram Kekerabatan Bahasa Daerah Minahasa
proto-Minahasa
Tondano Tonsea Tombulu Tontemboan Tonsawang
E. Sistem Religi/Agama
Tabel Jumlah Penduduk berdasarkan Agama Tahun 2006 (jiwa)
Kab./Kota Kristen Katolik Islam Hindu Budha Jumlah
Manado 249.194 25.040 171.742 6.800 934 514.910
Bitung 108.692 8.573 47.173 252 934 165.624
Tomohon 54.726 25.361 3.477 57 47 83.668
Minahasaa 395.395 215.381 47.443 107 3.472 661.798
Minsel b 252.865 10.393 34.092 - 104 297.454
Jumlah 1.060.872 284.748 303.927 68.416 5.491 1.723.454
Prosentase 61,554% 16,52 % 17,63 % 3,97 % 0,32 % 100,00
a Termasuk Kabupaten Minahasa Utara. b Termasuk Kabupaten Minahasa Tenggara.
Pengetahuan Unsur Sosial-Budaya
A. Flora Khas
Tawaang (Latin: Cordyline terminales Kunth, Dracaena terminales, Calodracon tennie nalis Planah
B. Fauna Khas
Clepuk Sulawesi (Otus manadensis)
Nama Internasional : Sulawesi Scops Owl
Punggok Tutul (Ninox punctulata)
Nama internasional : Specklet Boobook
C. Artefak Kebudayaan
- Watu Pinawetengan (batu menhir)
- Waruga (kubur batu sarkofagus)
- Batu tumotowa/sumanti/panimbe (menhir)
- dll
D. Tarian: Maengket, Cakalele/Kabasaran (Masasau), Jajar, Lenso, dll
E. Alat Musik: Kolintang, Musik Bambu (Seng & Klarinet), Bia, Katentengan, dll
F. Pakaian
Pakaian tradisional Minahasa mulanya terdiri dari baju yang dibuat dari kulit kayu pohon lahendong.
G. Rumah Adat: Wale
H. Lagu Daerah
Lagu
yang menjadi lagu kebangsaan (nasional) Minahasa adalah Mars Minahasa,
Oh Minahasa, Opo Wana Natas. Lagu-lagu lainnya adalah O Ina Ni Keke, Esa
Mokan, Ampuruk, Si Patokaan, dan lain-lain. Lagu-lagu ini sering
dinyanyikan pada setiap kesempatan dan acara/kegiatan yang berbau budaya
Minahasa.
Mars Minahasa
(Arr: Anonim)
Minahasa di ujung utara Sulawési,itu Tanah Airku ...
Tondano, Tomohon, Tonsea, Kawangkoan, Kakas dan Amurang ...
Kalabat, Soputan, Lokon, Dua Sudara, gunung di Minahasa ...
Pertemuan mata, jangan kita lupa ...
Ref: Suatu tanah, yang amat subur, dan lagi tanah yang kaya ...
Di sana tempat, ibu dan bapa, sanak saudara dan sekalian teman ...
Sako mangémo, an tana’ jao, magémo ma’ilek-ilék lako sayang...
Sako mangémo, an tana’ jao, magémo ma’ilek-ilék lako sayang!
O Minahasa (“Hymne Minahasa”)
(Arr: Anonim)
O ... Minahasa kinatoanku
Salarimaé unatéku
Milek ungkawangunanu
Ngaranu kéndis wia Nusantara
Na un cingké, pala wo kopra
Sé ma teles me lelowa
Ref: Dano Toulour; dépo wo numamu
Tembur Lokon wo Soputan mawés umbangumu
O ... kinatoanku Minahasa
Sawisa méndo endo léos
Paléosta né matuari
O... Minahasa tempat lahirku
Sungguh bangga rasa hatiku
Memandang keindahanmu ...
Namamu masyhur di Nusantara
Karna cengkih, pala dan kopra
Kagumkan pasaran dunia ...
Ref: Danau Tondano dan sawah ladangmu
Asap Lokon dan Soputan menghiasi alammu ...
O ... tempat lahirku Minahasa
Aku rindu setiap masa
Aman damai dan sentosa
Opo Wana Natas
(Arr/Lagu: Johanis Kainde, 1939)
Opo’ Wana Natas é, témboné sé mengalé-ngaléi
Témboné sé mengalé-ngaléi, Pakatuan Pakalawiren
Kuramo kalaléi langit, téntumo kalaléi un tana’
Kuramo kalaléi un tana’, téntumo kalaléi ta in tou
Nikita intou karia é ni mapasu suat u man
Nimapasu suat uman, kana wia si Opo’ Wana Natas.
Si Opo’ Wana Natas é, sia simata’ u am péléng.
Sia simata’ u am péléng, mamuali wiam ba wo in tana’.
(Artinya: Allah Maha Tinggi:
Allah
Bapa di Sorga, lihatlah kami yang memohonLihatlah kami yang selalu
memohon keselamatan. Sebagaimana umurnya langit, demikian juga umurnya
bumi,Sebagaimana umurnya bumi, demikian juga umur kita manusia.Kita
sebagai manusia, hai teman, hanya berserah pada TuhanHanya berserah
kepada Tuhan di tempat yang tinggi.
Ampuruk
(Arr/Lagu: Frederick W. Ward, Amurang 1954)
Ampuruk ing-kuntung karege-regesan
Maka témbo-témbomei inataran
Ka saleén kaaruyén o kalélon.
Tumémbo mei ingkayobaan
Ca Mei mengaléi é karia é katuari
Sé cita imbaya an doong ta iyasa
Maesa é naté o mamemberenan
eluren ingkayobaan iyasa (2x)
(Artinya:
Di puncak gunung setiap saat angin bertiup. Dari atas terlihat
terhampar padang yang luas. Mengasyikkan menyenangkan serta merindukan,
memandang alam dari atas gunung. Kami mohon wahai teman-teman dan
saudara kita semua yang ada di kampung saat ini, Bersatu hari
[rukun-rukunlah] dan saling peduli dalam mengatur dunia sekarang ini).
SEJARAH MINAHASA
Pendahuluan
A. Historiografi Minahasa
Historiografi,
yaitu ilmu yang mempelajari tentang penulisan/pencatatan sejarah,
menjadi sebuah bidang yang banyak digeluti orang Minahasa dewasa ini
dalam menggali masa lalunya. Historiografi Minahasa pada umumnya terbagi
dua, yaitu masa pra Westernisasi dan masa sesudah kedatangan bangsa
Barat di sini. Cerita mengenai asal usul bangsa ini hanya diturunkan
secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Legenda dan mitos ini
kemudian dicatat oleh para pejabat kompeni VOC yang mencari bahan pangan
di sini terutama Dr. Robertus Padtbrugge, serta para misionaris (para
pater Katolik) Spanyol dan Portugis. Penelusuran historiografi masa
kompeni VOC hingga kolonial Belanda dapat ditelusuri lewat
dokumen-dokumen serah terima/laporan pertanggungjawaban dan dokumen
administrasi lainnya. Pada abad XIX historiografi mulai dicatat secara
detil oleh para zendeling/pekabar injil Protestan.
Ada dua karya
utama mengenai sejarah Minahasa yang terbit pada masa Belanda: pertama
karya dari zendeling sekaligus kepala sekolah Ds. N. Graafland dengan
karyanya “De Minahassa, Haar Verleden en haar Tegenwordige Toestand”
yang terbit tahun 1867 dan 1898 dalam dua jilid. Kedua, karya dari
seorang Landsarchief (Kepala Arsip Nasional Hindia Belanda) Dr. E.C.
Godee Molsbergen¸ “Geschiedenis van de Minahassa tot 1829” yang terbit
tahun 1928 dalam rangka menyambut 250 Tahun Peringatan Persahabatan
Minahasa-Belanda 1679-1929.
Walaupun kini sudah banyak buku sejarah
Minahasa, namun belum adanya kesamaan persepsi yang jelas mengenai
pengkajian sejarah Minahasa. Penulisan sejarah masa kini harus sesuai
dengan semangat nasionalisme Indonesia dengan mengorbankan semangat
kedaerahan Minahasa. Jelas histroiografi Minahasa ini harus terbentur
birokrasi dan kecurigaan SARA (suku, agama, ras dan antar-golongan) yang
dihembuskan “pusat” dalam rangka “kesbang” (kesatuan bangsa) dan
melemahkan tindakan pengungkapan adat dan budaya Minahasa. Kecurigaan
dan ketidaksukaan ini berkonsep dari anggapan bahwa ”orang Manado
antek-antek penjajah Belanda”. Belum lagi faktor ideologi/agama menjadi
sumber masalah yang tidak dapat dipisahkan dari hal pertama tadi. Walau
ada ketertarikan akan sejarah Minahasa, namun kurangnya kepedulian akan
penulisan sejarah Minahasa menjadi faktor penyebab akhir darinya.
Masalah baru muncul ketika akan diadakan penulisan kembali sejarah
Minahasa, yaitu tidak terstrukturnya historiografi Minahasa dalam hal
pembabakan/kronologi sejarah Minahasa itu.
B. Periodisasi Sejarah Minahasa
Sejumlah orang membagi sejarah Minahasa menjadi:
1. Masa pra Malesung ± 2000 SM – 700
2. Masa Malesung 700 – 1450
3. Masa Minaesa 1450 – 1523
4. Masa Minahasa 1523 – sekarang
F.S.
Watuseke dalam bukunya Sedjarah Minahasa, sebuah buku yang disusun
secara kronologi, membagi kurun waktu Minahasa berdasarkan kontak bangsa
Minahasa dengan masing-masing bangsa Eropa, sebagai berikut:
1. Masa Purba
2. Masa Kolonial Bangsa Eropa
a. Masa Orang Portugis dan Intervensi bangsa Spanyol/ Tasikela (1512-1606)
b. Masa Bangsa Tasikela (Spanyol) dan Kedatangan Belanda (1606-1657)
c. Masa Kompeni Belanda (VOC) (1657-1799)
d. Masa Inggris I dan Belanda II (1800-1810)
e. Masa Inggris II (1810-1817)
f. Masa Belanda II (1810-1942)
g. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
3. Masa Republik Indonesia
a. Masa Perjuangan Kemerdekaan Indonesia/Masa Belanda III/NICA (1945-1949)
Saya membagi masa sejarah Minahasa ini ke dalam kategori:
1. Masa Malesung (Masa Purba)
a. Masa pra Malesung (sebelum abad VI atau XI)
b. Masa Malesung (Abad VI/XI – XV)
i. Toar-Lumimuut
ii. Makarua Siow (2x9), Makatelu Pitu (2x7) dan Pasiowan Telu
2. Masa Minaesa/Pinaesaan (Abad XV – XVI)
i. Perang Antar Walak
ii. Perang Minahasa – Bolmong
3. Masa Kolonial Bangsa Eropa
a. Masa Orang Portugis (Portugal) dan Intervensi bangsa Spanyol (1512-1606)
b. Masa Bangsa Tasikela (Spanyol) dan Kedatangan Belanda (1606-1657)
c. Masa VOC/Kompeni Belanda (1657-1799)
d. Masa Inggris I dan Belanda II (1800-1810)
e. Masa Perang Minahasa di Tondano (1808-1809)
f. Masa Inggris II (1810-1817)
g. Masa Belanda II (1810-1942)
h. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
4. Masa Republik Indonesia
a. Masa Perjuangan Kemerdekaan Indonesia/Masa Belanda III/NICA (1945-1949)
b. Masa Orde Lama (1950-1957, 1961-1966)
c. Masa Pergolakan Permesta (1957-1961)
d. Masa Orde Baru (1966-1998)
e. Masa Orde Reformasi/sekarang (sejak 1998)
Tinjauan Singkat Mengenai Masa Lalu Minahasa Purba (Malesung)
Dalam buku “Masalah Agraria Perobahan-Perobahan dalam Adat Penentuan Pemilikan Tanah” oleh E.J. Jellesma:
Menurut
cerita rakyat yang dituturkan secara turun-temurun oleh penduduk
Minahasa yang pertama sebenarnya berasal dari satu suku, kalau bukan
dari satu daerah, paling kurang yang hidup tidak berjauhan. Mereka
menduduki dataran-dataran tinggi Wulur-Mahatus, pegunungan yang sekarang
kira-kira merupakan perbatasan antara Minahasa yang sekarang dengan
kerajaan Bolaang-Mongondow.
Tanah-tanah Minahasa yang sekarang,
dahulu masih merupakan bagian dari Samudera, di mana puncak-puncak
Klabat, Lokon dan Soputan serta gunung-gunung lain terlihat sebagai
pulau-pulau kecil. Oleh suatu gerakan alam yang tidak diketahui,
diperkirakan dasar laut terangkat dan sebagian laut menjadi lahan luas
yang subur dengan sejumlah besar gunung, di mana penduduk dari
dataran-dataran tinggi tersebut di atas menjadi penghuni tetap.
Pada
periode berikutnya pecahlah perang saudara yang luar biasa, yang
mengakibatkan perpecahan di antara penduduk yang bersifat sangat
bermusuhan, dan terus-menerus hidup dalam peperangan, apalagi kalau
mereka melewati perbatasan wilayah mereka masing-masing. Oleh karena itu
perpecahan menjadi makin besar dan perasaan bahwa mereka berasal dari
satu keturunan yang sama semakin berkurang, sampai mereka akhirnya
menganggap diri sebagai suku tersendiri (pakasaän, eeheid).
Setelah
beberapa waktu perang berlangsung di antara mereka, terlebih lagi di
bawah tekanan Raja-raja Bolaang-Mongondow yang tak henti-hentinya
berupaya menguasai tanah itu, mereka memutuskan untuk mengesampingkan
dendam lama di antara mereka dan saling membantu satu sama yang lain
untuk menggagalkan usaha musuh bersama mereka itu. Sejak saat itu mereka
menamakan diri Maesa atau Minaésa (ésa = satu; menjadi satu), yang
kemudian dirobah menjadi Minahasa.
Setelah peperangan yang sengit dan
berkepanjangan itu orang-orang Bolaang-Mongondow dikalahkan dan mereka
terpaksa meninggalkan Minahasa.
Selama peperangan berlangsung
muncullah untuk pertama kali orang-orang Spanyol (yang oleh orang
Minahasa dulu disebut Tasitjela atau Tasikela = penyim-pangan dari kata
Kastilië).
...
Bermacam-macam usaha orang Spanyol untuk juga
bermukim di tanah tinggi, gagal, artinya mereka gagal tinggal di situ
untuk waktu yang lama; suku-suku Minahasa di daerah pegunungan berhasil
memerangi mereka melalui perang gerilya. Karena ancaman orang Spanyol
dan Bolaang-Mongondow maka orang Minahasa minta pertolongan dari orang
Belanda yang ketika itu sudah menetap di Ternate. Pertolongan diberikan
kepada mereka dan orang Spanyol diusir dari seluruh Minahasa.
Pada
tahun 1679 kontrak pertama dengan “Kepala-kepala desa dan seluruh umat
dari wilayah Menado” dibuat oleh Gubernur Maluku R. Padtbrugge atas nama
Gubernur-Jenderal Rijckloff van Goens. Dalam artikel pertama mereka
jelaskan “bahwa mereka hanya menerima dan mengakui VOC yang terhormat
itu sebagai satu-satunya penguasa tertinggi, abadi dan sah.”
Setelah
orang Bolaang-Mongondow dihalau, suku-suku Minahasa mulai sadar, bahwa
lebih baik kalau permusuhan di antara mereka diakhiri dan menentukan
sebaik mungkin batas-batas dari pelbagai pakasaan. Sesudah melalui
banyak pertengkaran akhirnya terciptalah satu penyelesaian, dan setiap
pakasaan mendapatkan wilayah masing-masing, dengan batas-batas yang
telah ditentukan. Pertengkaran mulai berkurang; ikatan lama antara
pakasaan hidup kembali; mereka mulai memandang diri mereka sebagai satu
keturunan. Sementara itu pakasaan-pakasaan yang berbeda-beda itu
(kemudian disebut distrik) mempertahankan wilayah mereka masing-masing
dengan batas-batas yang sudah ditentukan.
C. Asal Usul Orang Minahasa
Bangsa
Minahasa menurut penyelidikan para ahli berasal dari daratan Asia.
Dalam tradisi berupa mitos, leluhur bangsa Minahasa berasal dari utara
yang datang melalui laut. Jadi bukan merupakan penduduk asli.
Menurut H.M. Taulu, kaum pendatang di Minahasa adalah:
A. Kaum Kuritis, yang berambut keriting.
B. Kaum Lawangirung (Lewengirung), yang berhidung pesek.
C.
Kaum Malesung atau Minahasa, yang menurunkan empat kelompok besar yang
menjadi sub-etnis: Tonsea, Tombulu, Tontemboan/Tompakewa,
Toulour/Tondano.
D. Suku Tonsawang, Pasan Wangko (Pasan-Ratahan).
E. Suku Bantik, yang masuk di tanah Minahasa sekitar tahun 1590 sebagai tentara Mongondow yang memerangi bangsa Malesung.
Menurut
legenda, leluhur orang Minahasa berasal dari sepasang suami-istri
bernama Toar dan Lumimuut yang dibantu seorang enek tua bernama Karema.
Mengenai asal usul mereka ada banya pertentangan. Versi tua mengatakan
bahwa Lumimuut berasal dari peluh sebuah batu. Ada lagi versi yang
mengatakan bahwa leluhur orang Minahasa berasal dari seberang utara.
Apalagi dahulu bila orang meninggal dunia, dipercaya bahwa mereka akan
pergi ke arah utara, ke daerah asalnya. Mengenai letak lokasi utara ini
juga para ahli bersilang pendapat
MITOS DAN LEGENDA
A. Leluhur Pertama: Toar-Lumimuut
Bangsa
atau etnik Minahasa dimulai dari kisah leluhur mereka, yaitu
TOAR-LUMIMUUT. Ada yang unik dari kisah ini, karena Toar dikisahkan
mengawini ibunya Lumimuut. Selain kedua tokoh utama tersebut, ada juga
tokoh lain yang bernama KAREMA yang dipersonifikasikan sebagai walian
dan juga seorang nenek yang umurnya lebih tua dari Lumimuut dan berperan
sebagai penasehat dan pembimbing dari Toar-Lumimuut.
Pada mulanya,
keluarga Toar Lumimuut tinggal di kompleks Pegunungan Wulur Mahatus (di
Minahasa bagian selatan), yaitu bukit Watu Nietakan. Di puncak bukit
ini terdapat sebuah batu bernama Watu Rerumeran/Lisung Watu. Letak dari
batu ini berada di sisi barat daya Tompasobaru. Batu raksasa ini
panjangnya sekitar 8 meter, lebar 4 meter dan tinggi 10 meter. Di lereng
bagian barat ada ruangan tempat berteduh (gua) bernama Minawatu/Mahwatu
Munte Popontolen dengan perabot serba batu. Di batu tersebut ada 19
lobang semacam lesung dengan lobang yang terbesar dalamnya 50 cm dengan
diameter 40 cm. Diperkirakan bahwa keturunan Toar-Lumimuut tinggal di
sekitar Mahwatu/Batu Nietakan selama empat generasi. Sedangkan Minahasa
pada masa itu masih disebut sebagai Malesung.
Tempat kediaman manusia
pertama Minahasa menjadi perdebatan sejarawan. Ada pihak menyebut
tempat kediaman mereka di daerah yang disebut Tu’ur in Tana’ (pusat
tanah, tiang atau batang bumi) atau Watu Niutakan di pegunungan
Wulur-Mahatus, berada di Watu Nietakan di puncak Bukit “Rumah Batu” di
desa Pinaesaan Kecamatan Tompasobaru. Versi lain menyebut berada di desa
Palamba Kecamatan Langowan serta i kawasan Desa Kanonang Kecamatan
Kawangkoan. Malah versi lain di desa Kiawa Kecamatan Kawangkoan. Orang
Tombulu mempercayai leta Tu’ur in Tana’ berada di Tomohon, yakni di
kawasan sebelah barat dataran tinggi di tengah-tengah gunung Lokon,
Kasehe dan Tatawiran. Namun, lokasi inipun sering dikaitkan sebagai
Kasendukan (Karondoran, Kalahwakan atau Kasohoran), yakni sebutan lain
bagi Lokon, yang dalam tradisi-tradisi menjadi lokasi kediaman para opo,
anak-anak keturunan Toar-Lumimuut. Didekat lokasi Tu’ur in Tana’
disebut berada Rano Lahendong dan Walehlaki. Budayawan Ibrahim Palit
menyebut di tempat yang banyak ditumbuhi pohon mahwatu, sehingga disebut
Mahwatu Tu’ur in Tana’, yakni di atas hulu sungai Makalesung (anak
sungai Ranowangko).
Kelompok Makarua Siow, Makatelu Pitu, dan Pasiowan Telu
Saat
Lumimuut dan Toar menjelang tua dan masyarakat yang menetap di Wulur
Maatus sudah demikian banyak, tibalah saatnya untuk menyerahkan tongkat
tanggung jawab kepemimpinan kepada anak-anak mereka.
1. Kelompok “se
makarua siouw” atau anak mereka yang tertua diserahkan tugas menjadi
penghulu di bidang pengaturan masyarakat/pemerintah;
2. Kelompok “se makatelu pitu” diserahkan tugas menjadi penghulu pengaturan keagamaan;
3. Kelompok “se pasiowan telu” adalah terbungsu dan yang terkecil.
uga
yang membantu tugas kerja kakak-kakak mereka dari kelompok “makarua
siouw” dan “makatelu pitu” maka dibentuk dua kelompok tugas pembantu
dari “pasiowan telu” melalui pilihan bunyi burung, yaitu:
a. Kelompok “se makarua lima” yang bertugas sebagai penghulu di bidang pencaharian/pertanian dan hasil bumi.
b. Kelompok “se makarua telu” yang bertugas sebagai penghulu di bidang perburuan.
Sisa kelompok “pasiowan telu” lainnya bergabung dengan kelompok di atas.
Dengan demikian, bangsa Malesung terbagi menjadi tiga golongan besar, yaitu:
I.
Golongan Makarua Siow (2 x 9), yaitu golongan agama, yang mengatur
ibadah dan adat istiadat. Merekalah kaum walian dan tonaas.
II.
Golongan Makatelu Pitu (3 x 7), yaitu golongan militer, yang menjaga
keamanan. Mereka itu adalah para waranei dengan pemimpinnya, yaitu
teterusan.
III. Golongan Pasiowan Telu, yaitu rakyat biasa seperti petani dan pemburu.
Ketika pemukiman pertama di Nietakan telah penuh sesak, maka sejumlah keluarga dari
B. Kongres Raya di Watu Pinawetengan
Penetapan pembagian di Watu Pinawetengan
Di
bawah kaki pegunungan Tonderukan berhimpun para penghulu dari ketiga
kelompok anak cucu Lumimuut dan Toar. Oleh Lumimuut dan Toar ditetapkan:
(1) Empat lambang agama; dan (2) Empat wilayah awuhan yang kemudian
dikenal dengan tanah adat rumpun. Kemudian oleh opo Muntuuntu anak
tertua dari kelompok “makatelu pitu” yang sangat bijaksana dan
berdasarkan penelitiannya, akibat penyebaran pertama dari Wulur Maatus
serta pengaruh pendatang di tempat mereka menetap sehingga terjadi
perubahan dalam bahasa, menambahkan (3) Pengelompokan dalam empat
bahasa/nuwu.
Yang menyelenggarakan penentuan pembagian diserahkan
sepenuhnya oleh Lumimuut dan Toar kepada anak-anak mereka. Maka
dipilihlah opo Muntuuntu sebagai pemimpin pembagian.
Pelaksanaan pembagian di Watu Pinawetengan.
Maka
diadakanlah perhitungan kehadiran para penghulu dari ketiga kelompok
serta sekaligus mengelompokkan mereka menjadi empat kelompok yang
berbahasa mirip. Atas jumlah pengelompokan itu dibagilah besarnya tanah
awohan. Yang banyak penghuninya mendapat tanah yang besar sebaliknya
yang kecil mendapat pula tanah yang kecil. Penghuni bahagian utara yang
kemudian dikenal dengan rumpun Touw-Tewoh/Tounsea meskipun jumlah mereka
yang terkecil namun tanah perburuan mereka tidak pernah dijamah oleh
saudra-saudara di selatan mereka. Dan oleh karena sebagian besar yang
menjadi penghulu di sana adalah dari kelompok se Makatelu-Pitu maka
keadaan utara sangat ttenang. Mereka menolak kalau tanah awohan mereka
diperkecil. Dan setelah tanah itu ditetapkan menjadi tanah Touwtewoh dan
kemudian menjadi tanah Tonsea keadaan mereka tetap utuh karena antara
walian wangko mereka yang berkedudukan di Tonsea Lama dan pimpinan
pemerintahan Kepala Walak/Tonaas yang berkedudukan di Kema selalu
terjalin hubungan yang baik dan masing-masing tidak mencampuri urusan
lainnya. Penghuni bagian tengah terpecah menjadi dua bagian.
Maka
pembagian tanah awohan dibahagi atas 4 bagian sesuai pembagian alam pada
bagian atas batu Pinawetengan: I. Toutewoh, II. Tounsendangan, III.
Tounmayesu, Tounpakewa.
Berpencarlah keempat hulu rumpun ke tempat masing-masing sesuai yang telah ditentukan oleh Lumimuut dan Toar.
•
Rumpun Toutewo: Rumpun ini dihantar oleh penghulu-penghulunya antara
lain: Talumangkun, Tumewan, Makarewa serta yang lainnya pergi mendirikan
taratak foso di tempat bernama Niharanan.
• Rumpun
Tourikeran/Tousendangan: Diantar oleh penghulunya: Tiwatu, Rumawiei,
Welong, Timbeler, Talainang, Mapangingi dan Tumangkar pergi mendirikan
taratak foso di tempat bernama Roong wangko.
• Rumpun Toumeiesu:
Diantar oleh penghulunya: Rumengan, Kumiwel, Manarainsang, Pinontoan
pergi mendirikan taratak foso di tempat bernama Meiesu.
• Rumpun
Toukinembut: Diantar oleh penghulunya: Soputan, Makaliwe, Makawalang,
Totokai, Tingkuleindang, Kawatak pergi mendirikan taratak foso di tempat
bernama Tumaratas/Tuur in tana’ di tempat yang tinggi dekat watu
Pinawetengan.
Maka mereka membangun taratak-taratak mereka serta
menempatkan lambang/tanda foso serta peraturan persembahan sesuai
dipesankan di Watu Pinawetengan oleh Toar-Lumimuut, serta melaksanakan
tata cara persembahan, baik di Watu Pinawetengan maupun di tempat pusat
tanah pencaharian (awuhan) masing-masing.
Waktu itu belum semua
daratan Minahasa dihuni, baru sampai di garis kuala Ranoiapo, gunung
Soputan, gunung Kawatak, kuala Rumbia. Pada abad XV ketika penduduk
sudah semakin banyak, terjadi perang antara keturunan Toar Lumimuut
dengan penduduk Bolaang Mongondow. Sejak itu penduduk mulai menyebar ke
seluruh Minahasa, menjadi suku: Tounsea, Toumbulu, Tountemboan, Toulour,
Tounsawang kemudian penduduk pendatang dengan nama Bantik, Pasan dan
Ponosokan. Orang-orang Bantik, Tounsea, Toulour, Toumbulu dan
Tountemboan adalah suku Minahasa asli.
SEJARAH MINAHASA
A. Minahasa pada Masa Kolonial
Sistem Pemerintahan
Orang
Minahasa (dahulu disebut Malesung) telah mengenal sistem pertahanan
adat dalam satu dari tiga golongan pada masa sebelum tahun 670 Masehi
yaitu pada golongan Makatelu Pitu. Kepala perangnya adalah Teterusan
dengan prajurit biasa yang disebut waranei.
Pada masa dahulu kala,
bangsa Minahasa masih menyebut kelompok etnis mereka sebagai bangsa
Malesung. Sistem pemerintahan di Malesung saat itu adalah sistem
pemerintahan republik desa atau republik wanua, atau disebut juga
republik walak. Wanua ini berupa sekumpulan rumah-rumah besar yang
terdiri dari beberapa kerabat yang saling berdekatan.
Kemudian
kompleks pemukiman ini menjadi padat sehingga beberapa keluarga
mendirikan pemukiman baru yang disebut sebagai tumani. Tumani ialah
usaha pendirian sebuah kompleks pemukiman yang baru yang merupakan
cikal-bakal dari sebuah wanua.
Ada beberapa tumani yang bertumbuh
dari kebiasaan tinggal di kebun ladang. Tumani ini muncul dari
sekumpulan peladang yang tinggal berhari-hari bahkan berbulan-bulan
lamanya, dikarenakan lokasi kebun ladang tersebut jauh dari wanua.
Aktivitas ini disebut mento’. Ada kalanya para peladang ini membawa
serta keluarganya untuk menetap di kebun. Kumpulan dari keluarga
peladang ini dapat meneruskan komunitasnya dengan membentuk suatu wanua
baru. Timbullah upaya tumani oleh keluarga-keluarga tersebut.
Wanua, kemudian pada masa Hindia-Belanda disebut negeri atau kampung memiliki sistem pemerintahan republik desa tersendiri.
Pada
masa purba penduduk Malesung berdiam di tempat strategis, berkenaan
dengan seringnya terjadi perang antar suku. Penduduk hidup berkelompok
dan membentuk masyarakat hukum geneologis, menurut garis keturunan ayah
(patrilineal). Kelompok-kelompok sosial geneologis ini makin lama makin
maju pertumbuhannya, sehingga berkembang menjadi bentuk struktur politik
yang nyata.
Dari kesatuan terbawah keluarga, terbentuk kesatuan
kepala keluarga, dan dari gabungan kesatuan kepala keluarga terbentuk
sebuah negeri atau wanua, dipimpin seorang tua adat yang dianggap
memiliki kesaktian dengan gelaran Tonaas. Tugasnya macam-macam. Seperti:
mengatur negeri, perkebunan, menafsir tanda burung, dan paham cara
mengatasi hama perusak tanaman seperti tikus, babi hutan, kera, ular dan
burung.
Wanua bersama wanua lain membentuk Pakasaan, yang dikepalai
seorang Hukum Wangko atau Tonaas Wangko, yang disebut juga Kolano atau
Kalaw Witi di Kakaskasen. Tokoh-tokoh penting lain dalam struktur
masyarakat purba adalah Teterusan yang bertugas menangani seluk-beluk
pertahanan dan keamanan, dengan stafnya yang disebut Waranei atau
prajurit. Kemudian yang bertanggungjawab soal-soal keagamaan adalah
Walian, yang berkewajiban menyelenggarakan upacara-upacara adat, mahir
ilmu perbintangan, dan menentukan waktu membuka kebun, hutan atau negeri
baru. Ada kalanya Walian seorang wanita. Sebagai pembantu Walian adalah
Putoosan yang ahli mengartikan mimpi, pandai ilmu sihir, tukang obat
dan pandai mengusir setan.
Pakasaan dan Walak
Pada
masa dahulu Minahasa terdiri dari walak-walak Tontemboan, Tombulu,
Tonsea dan Tondano, yang merupakan rersatuan dan kesatuan keluarga
masing-masing kelompok itu. Kesatuan kelompok tersebut disebut paesaan,
kemudian berubah menjadi Pahasaan, terakhir berkembang menjadi
Pakasaan.. Walak-walak Minahasa pada awal abad ke-19 tercatat: Manado,
Negeri-Baharu (Negeri-Baru/Titiwungen), Ares, Mawuring, Tondano-di-bawah
(pemukiman orang Tondano di Manado), Kalabat-bawah (Maumbi), Tomohon,
Tonsarongsong (Sarongsong), Tombariri, Kakaskasen, Tonsea, Kalabat-atas,
Tondano-Toulimambot, Tondano-Touliang, Kakas, Remboken,
Tongkimbut-atas/Sonder, Tongkimbut-bawah/Kawangkoan, Langowan, Tompaso,
Rumo’ong, Tombasian, Tonsawang, Pasan, Ratahan, Ponosakan, Bantik.
Kedatangan Bangsa Barat
Armada
perdagangan Portugis secara resmi mengirim Antonio de Abreu ke Maluku
pada tahun 1512. Pada tahun itu juga tiga kapal layar ke Manado (Pulau
Manado Tua). Portugis kemudian melakukan perjalanan ke Uwuran (sekarang
Amurang) dan disana mereka mendirikan Benteng Amurang. Ketika mereka
tiba di Uwuran, Portugis yang saat itu membawa lebih banyak pedagang dan
pimpinan rohani dari pada serdadu, belum berani memasuki daerah
pedalaman. Mereka hanya mampu mendirikan benteng-benteng batu di tepi
pantai dan pulau di sekitar Minahasa, seperti di Siau.
Pada tahun 1608 Kapiten VOC Jan Lodewijk Rossinggeyn mendirikan loji (benteng kayu) di muara kuala Wenang
Spanyol mengakar di daerah Sulawesi Utara setelah Raja Manado Tululio dan sejumlah raja lainnya bersahabat dengan mereka.
Kontak
pertama Minahasa dan Belanda terjadi pada bulan Februari 1644, saat 8
orang (H.M. Taulu mencatat: Kepala Walak Tomohon Lumi, Lontaan, Umboh,
Siwi, ketiga anak Lumi yaitu Posumah [ayah Sahiri Supit], Taulu dan
Kalangi, serta seorang pendayung dari Babontehu/Siau; dalam tulisan lain
Taulu menambahkan Lontaan, Timbuleng)berperahu ke Ternate bertemu
Wouter Seroyen, Gubernur VOC di Maluku (1642-1644). Tujuan mereka
meminta bantuan memerangi Spanyol yang bertindak brutal di tanah
Minahasa sekaligus ingin bersahabat dengan Kompeni Belanda. Nanti tahun
1655 Belanda baru membangun Benteng Nederlandsche Vastichheyt di muara
kuala Wenang oleh Gubernur Simon Cos. Kendudukan VOC di tanah Minahasa
dimulai dengan pendirian loji tahun 1608 untuk menampung beras dari
pegunungan serta pertahanan sederhana.pada pinggiran muara kuala Tondano
di daerah Wenang oleh Kapten VOC Jan Lodewijkz Rossingeyn. Ia
melaporkan kepada pemegang kuasa gubernur Maluku Laksamana Paulus van
Coerden bahwa pada saat itu loji Manado telah direbut oleh Spanyol.
Kemudian pada tahun 1657-1664 loji Manado didirikan kembali oleh Kapten
VOC Paulus Andriessen. Sekitar tahun 1666-1668, Sersan VOC Jan Baptista
memimpin pembangunan Benteng Amsterdam dari beton. Tahun 1668 pimpinan
benteng tersebut dipegang oleh Sersan VOC Jockum Sippman. Sekitar tahun
1682 disebutkan bahwa komandan benteng tersebut bernama Sersan Smith.
Dalam
usaha menegakkan kekuasaan di kawasan utara Sulawesi, Kompeni Belanda
menunjuk Dr. Robertus Padtbrugge (lahir di Parijs, 1637 – † Amersfoort,
1703), seorang administrator dan politikus ulung menjadi Gubernur Maluku
tahun 1677-1682. Pada kunjungannya kedua di Manado pada 25 Desember
1678, ia mendapat kabar terganggunya perdagangan dengan orang Minahasa
akibat peperangan antara orang Minahasa dan Raja Loloda Mokoagow.
Segeralah ia memerintahkan serdadu Belanda di Manado membantu para ukung
melawan Loloda. Tindakan ini meninggalkan kesan baik di kalangan bangsa
Minahasa sehingga ia segera memanfaatkannya dengan melakukan perjalanan
ke pedalaman melakukan negosiasi dengan para ukung.
Hasilnya,
dibuat naskah Kontrak Persahabatan (verbondt ende contract) tanggal 10
Januari 1679, “Perjanjian dan ikatan yang diadakan oleh Gubernur Maluku,
Robertus Padtbrugge atas nama Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens dan
Raad van Indië (Dewan Hindia) yang mewakili Kompeni Hindia Belanda
Timur pemegang hak monopoli dan Negara Belanda Serikat dengan
dorphoofden (para ukung) dari Manado
Berbeda dengan kerajaan di
sekitar Minahasa, kontrak ini dilakukan dengan seluruh kepala walak
(waktu itu komunitas berupa desa besar) dengan istilah dorpstaten, atau
negara desa, tegasnya: Republik Desa. Istilah verbondt – bondgenooten
(perjanjian persahabatan/ persekutuan/aliansi) ditegaskan antara
keduanya belah pihak. Dengan demikian kontrak ini jelas-jelas merupakan
sebuah perjanjian bilateral antara dua negara (international verdrag),
dua bangsa yang sama derajat.
Beberapa waktu kemudian pegawai kompeni
mulai menipu rakyat, sehingga pada tahun 1681-1683 penduduk mulai mogok
menjual beras. Keadaan ini membuat Kompeni mengadakan revisi kontrak
tanggal 10 September 1699. Kontrak ditandatangani Residen Manado Kapiten
Paulus de Brieving dan Asisten Residen Samuel Hatting dengan ketiga
Hoofdhoecum-majoor (Kepala Hukum Majoor/Kepala Walak) Minahasa yaitu
Soepit, Lontoh, Paat.
Kontrak 1699 ini ditolak seluruh anggota walak
Minahasa karena melarang beberapa kebiasaan adat serta menolak tunduk
kepada Kompeni sebagai Raja Diraja. Pemerintah Kompeni di Batavia pun
menulis memo kepada Pemerintah Kerajaan Belanda akhir tahun 1702: “Di
Manado (=Minahasa) rakyat yang liar buas, sebagaimana adat kebiasaannya
bangkit menolak kontrak 1699, karena tidak tahu membaca dan menulis
Latin, sambil bersatu melanjutkan kehidupan yang garang, yang oleh
Pemerintah Provinsi di Ternate dibiarkan, agar tidak membuat mereka
menjadi sakit hati.” Juga “... kepada Gubernur Ternate, Pemerintah
Batavia memberi perintah: kepada rakyat di Manado pada masa depan,
jangan diperintah dengan keras, diperlakukan dengan baik, asalkan
benteng (Amsterdam) dapat diperkeras karena telah tua, demikian maksud
Kompeni, asal keadaan dapat menjadi baik.” Residen Thomas Heijmans pada
tanggal 28 April 1728 dan Gubernur Ternate Anthonij van Voorst pada
tahun 1763 memberi alasan lain: “Manado de broodkamer der Molukken”
(Manado adalah gudang roti dari Maluku). Tahun 1710 Residen Jacob Claesz
menyatakan dalam Memori Serah-Terima bahwa penduduk Minahasa adalah
sekutu, bukan geen overwinnelingen (rakyat taklukkan).
Ternyata pihak
Kompeni Belanda masih melakukan tindakan yang merugikan bangsa
Minahasa. Puncak dari emosi bangsa Minahasa meledak dalam peristiwa
Perang Tondano tahun 1808-1809.
Pada tahun 1801, ada kapal perang
yang menembaki benteng Belanda di Manado. Setelah diselidiki ternyata
kapal perang tersebut milik Inggris. Mengetahui ada konflik antara
Belanda dan Inggris maka para Walak Minahasa meminta bantuan Inggris
untuk mengusir Belanda. Dalam upaya mengusir Belanda, Gerrit Wuisang
membeli senapan, mesiu, dan meriam dari Inggris. Nanti pada bulan
September 1810 Inggris mendarat di Minahasa serta menerima penyerahan
dari para pegawai Belanda kepada Resident Inggris Letnan Thomas Nelson.
Dibandingkan Belanda, reputasi Inggris dikenal sebagai ‘bangsa Eropa
yang agak sopan dalam menjajah’. Maka pada tanggal 14 September 1810
diadakan kontrak dengan pihak Inggris. Walak yang waktu itu erjumlah 26
disebut dalam kontrak sebagai departement. Kontrak ini berisi perjanjian
bahwa Minahasa mengakui kekuasaan Inggris, Minahasa memasukkan beras
56.000 gantang per tahun atau 700 koyang seharga 30 ringgit per koyang
(1 koyang= 80 gantang= 1.500 kg), Inggris akan mengimpor beberapa jenis
kain, kepala pribumi berjanji meniadakan pembunuhan dengan cara to’tok.
Kekuasaan Inggris di Manado berakhir tanggal 21 April 1817 dan
diserahterimakan dari Residen Cursham kepada Residen T.P.A. Martheze
asal Belanda, berdasarkan Traktat London tahun 1814, di mana Inggris
harus mengembalikan seluruh daerah yang direbutnya dari Belanda.
B. Perang Minahasa-Bolmong
Perang Minahasa – Bolaang Mongondow (Abad ke-17)
Timbulnya perang Minahasa–Bolaang Mongondow berawal dari kisah
Pingkan-Matindas. Pingkan Mogonunoy adalah seorang puteri dari Walak
Tombariri (dari Tombulu) yang tinggal di Mandolang dekat Tanawangko. Ia
kawin dengan Makaware’ Matindas asal Tonsea.
Peristiwa
Pingkan-Matindas ini adalah sebagai berikut: Pingkan Mogonunoy adalah
seorang gadis yang tinggal di Mandolang dekat Tanawangko, yang kemudian
kawin dengan Makaware’ Matindas asal Tonsea. Matindas adalah seorang
nelayan. Agar ia tidak merasa kesepian saat melaut maka ia membuat dua
buah patung yang diukir dari kayu. Patung yang satunya menyerupai
dirinya, sedangkan lainnya menyerupai istrinya, Pingkan Mogonunoy,
seorang perempuan cantik. Patung Pingkan selalu dibawanya dalam setiap
pelayaran dalam mencari ikan di laut. Suatu ketika terjadilah badai pada
saat ia sedang mencari ikan di laut. Patung itu jatuh ke laut. Matindas
sendiri terdampar di Pulau Mangindanau selama beberapa saat lamanya
sampai akhirnya ia dapat kembali lagi ke tanah Minahasa.
Akhirnya
patung kayu itu jatuh ke tangan Raja Mokoagow di kerajaan Bolaang
Mongondow yang saat itu memerintah dari Amurang. Melihat akan keelokan
dari patung ini, maka ia menyuruh bawahannya mencari perempuan yang
serupa dengan patung itu. Mokoagow jatuh cinta pada Pingkan Mogogunoi
yang tinggal di Mandolang. Karena kecantikan Pingkan, membuat ia mabuk
kepayan, walau Pingkan sudah menikah dan melarikan diri bersama suaminya
Matindas. Setelah beberapa lama, akhirnya mereka menemukan Pingkan di
pantai Mandolang. Akhirnya Raja Mokoagow meminta agar Pingkan menjadi
istrinya.
Pingkan dan Matindas terkejut mendengar maksud Raja Dodi
Mokoagow dari kerajaan Bolaang Mongondow itu, sehingga terpaksa
mengambil keputusan lari meninggalkan Mandolang, pindah ke Maädon, dekat
Kema. Walau demikian, Mokoagow tetap menggebu-gebu maksudnya itu.
Akhirnya Pingkan dan Matindas mencari akal. Pingkan menyuruh raja
Mokoagow memanjat sirih pinang dan menipu raja dengan mengatakan bahwa
ia harus memakai baju Matindas suaminya agar orang mengira bahwa yang
naik itu adalah suaminya Matindas. Sementara raja sedang berada di atas
pohon pinang memetik sirih, Pingkan menyuruh suaminya Matindas
mengenakan pakaian raja. Matindas dengan berpakaian raja menyuruh
prajurit raja agar membunuh orang yang berpakaian Matindas. Akhirnya
raja Mokoagow mati dibunuh prajuritnya sendiri.
Hal ini diketahui oleh keluarga raja yang kemudian mengakibatkan perang di antara Malesung dan Bolaang Mongondow.
Perang
pertama antara bangsa Minahasa dan kerajaan Bolaang-Mongondow
diperkirakan terjadi antara tahun 1460-1590. Dalam peperangan pertama,
Pingkan dan Matindas meninggal demi membela kehormatan bangsanya.
1. Perang Malesung vs Bolaang-Mongondow Pertama (1606)
Pada
saat orang Bolaang berada di bawah kepemimpinan Ramokian (salah satu
anak dari Rama Polei/Rama Polii) bersama iparnya Panulogon menderita
kekalahan pahit dalam perang di Langowan, mereka meminta didatangkan
bala bantuan dari Bolaang-Mongondow dan menyerang negeri Kakas dan
Toudano. Tetapi para teterusan (panglima perang) dan waranei (prajurit)
dari kedua walak ini, dipimpin oleh Kepala Walak merangkap Teterusan
dotu Gerungan dari Tondano dan Wengkang dari Kakas memukul mundur musuh
sampai di Mangket (dekat negeri Kapataran sekarang). Ketika didengar
oleh Walak Remboken tentang serangan atas sesama suku/pakasaannya, maka
Kepala Walak Tarumetor (anak tiri dari Kepala Walak Tountemboan, Ka’at)
bersama pemimpin-pemimpin lain, yaitu Kambil, Pakele, Sumojop,
Kawengian, Koagow, Sumarau, Kowa’as dan Sendou berangkat menuju mangket
di mana tentara Bolaang telah membangun kubu-kubu pertahanan berupa
benteng dan menyerangnya. Di depan pintu benteng tersebut, Tarumetor
menusuk mati Ramokian. Setelah mereka menyerbu masuk benteng, mereka
menemukan mayat Panulogon di antara mayat-mayat tentara Bolaang. Pedang
Ramokian hingga kini disimpan di Remboken.
2. Perang Malesung vs Bolaang-Mongondow Kedua
Ratuwinangkang
(anak Panulogon dari istri Raunpo’ondou) setelah dikukuhkan sebagai
raja, maka anaknya, Ratuwangkang, ditunjuk sebagai panglima perang.
Keduanya ingin mencaplok tanah Malesung dan memerangi bangsanya
terus-menerus. Gangguan ini membuat keempat suku/pakasaan Malesung
mengikat sumpah untuk bergabung dalam satu kesatuan “Minaesa”. Lima
tempat ditentukan sebagai lokasi upacara sumpah ini, yaitu di Touneroan,
Niaranan, Pakewa, Roong-Wangko (Tourikeran) dan di kaki Gunung
Wulur-Ma’atus. Sejak saat itu seluruh suku-suku/pakasaan bersatu
kembali, maesa (bersatu) yang menimbulkan nama Minaesa (telah menjadi
satu). Tentara Bolaang-Mongondow yang datang memerangi bangsa
Malesung/Minaesa itu dibagi dalam lima bagian pasukan:
Pasukan pertama, di bawah pimpinan rajanya, Ratuwinangkang, menyerang Manado;
Pasukan kedua, di bawah pimpinan panglimanya, Ratuwangkang, menyerang
Toundano, Kakas dan Remboken (pakasaan Tondano/ Toulour);
Pasukan ketiga, maju menyerang pakasaan Tompakewa/Tountemboan;
Pasukan keempat, di bawah pimpinan Kuhiting menyerang pakasaan Tonsea;
Pasukan kelima, menyerbu Pulau Lembeh dan Bangka.
Kelima
pasukan ini berhasil ditumpas oleh bangsa Malesung karena pasukan
Bolaang-Mongondow tidak mengetahui adanya ikrar bersama antara keempat
pakasaan Malesung itu. Dimana-mana mereka dihancurkan dan ditumpas
pasukan Malesung, sisanya lari tercerai-berai di seluruh tanah Minahasa,
termasuk suku Bantik. Akibat terpencarnya sisa-sisa pasukan Bolmong
membawa efek samping karena mereka mulai mengadakan perang gerilya
dengan membentuk grup-grup kecil mereka merampok dan membunuh.
3. Perang Malesung vs Bolaang-Mongondow Ketiga dan yang Terakhir
Dengan
terjadinya gangguan yang ditimbulkan oleh pengacau grup-grup kecil
tersebut, maka Minaesa (“se Maesa”) mengambil keputusan akan
menghancurkan dan membasmi mereka untuk selama-lamanya. Utusan dikirim
ke seluruh pakasaan. Mereka memutuskan untuk tidak akan berhenti sebelum
semua musuhnya dikalahkan.
Pasukan-pasukan keempat pakasaan Malesnung/Minaesa dipimpin oleh 15 Kepala-kepala (Pemimpin):
Dari Pakasaan Tountemboan (Tounkimbut/Tompakewa): Koemeang, Porong, Lampas, Waani;
Dari Pakasaan Tounsea (Tountewoh): Lengkong Wuaya, Ramber;
Dari Pakasaan Toundano/Toulour: dotu Gerungan dari Walak Tondano
(Tourikeran), Wengkang dari Walak Kakas, dan dari Walak Remboken
(Rinembok) adalah Tarumetor, Pakele, Kambil, Kentur;
Dari Pakasaan Toumbulu (Mayesu): Pelealu, Wangka, Tekelingan.
Pasukan
Malesung berhasil menghalau dan membinasakan gerombolan
Bolaang-Mongondow di tanah Malesung/Minahasa pada bulan Juni 1693 di
Tompaso dengan membakar mayat pasukan Bolmong untuk membuat mereka ngeri
(di Toraget, asal kata tou-rages/tou-racet).
Kemudian dadakanlah
perjanjian pada bulan Januari 1694 antara orang Minahasa dengan Bolmong
yang disponsori Residen VOC Herman J. Steynkuyler. Bulan September 1694
perjanjian diteguhkan oleh Raja Jacobus Manoppo dengan mendirikan sebuah
batu perjanjian bernama Batu Binarisan, dan ditentukan bahwa perbatasan
Minahasa dan Bolaang Mongondow adalah Tanjung Poigar – kuala Poigar –
Pontak – kuala Buras/Buyat. Tahun 1711 Raja Jacobus Manoppo menuntu
kembali tanah-tanah yang dirampas dari ayahnya, Loloda Mokoagow, namun
ditolak kompeni VOC. Bahkan pada masa pemerintahan Raja Salmon Manoppo,
pernah mencabut tiang-tiang perbatasan Minahasa dan Bolaang Mongondow
sehingga ia ditangkap dan dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika Selatan.
C. Perang Minahasa dengan Bangsa Eropa
Perang Minahasa – Spanyol (Tahun 1644)
Bangsa
Spanyol berhasrat menjajah Minahasa (Malesung) dengan mengangkat
seorang raja di kalangan orang Minahasa. Pada masa itu Minahasa
mempunyai 19 walak (negara desa) yang tidak mengenal kesatuan politik
antar walak. Masing-masing merdeka dan berdaulat penuh. Hal ini membuat
bangsa Minahasa menolak.
Orang yang hendak dijadikan raja oleh
Spanyol adalah Mainalo dari Kinilow, seorang peranakan Spanyol-Tombulu
dari ibunya Lingkambene. Ketika ditanyakan kepada Ukung/Kepala Walak Tou
Muung waktu itu yaitu Lumi (yang disebut juga Worotikan), ia menolak
mentah-mentah maksud itu. Seorang serdadu Spanyol (mungkin serdadu asal
Filipina) naik darah dan menempeleng Lumi hingga terjatuh. Hari itu
tanggal 10 Agustus 1644, menurut tulisan Pater Juan Yranzo. Pada malam
itu juga Lumi mengumumkan perang dan pembunuhan total terhadap seluruh
bangsa Spanyol yang berada di Pakasaan Tombulu serta di seluruh tanah
Malesung. Ke Tonsea, Toulour dan Tompakewa (Tountemboan) pun dikirim
berita yang sama. Seluruh peperangan menumpas orang Spanyol ditulis oleh
Pater Juan Yranzo di Manila tanggal 4 Agustus 1645 sekembalinya dari
tempat persembunyian di Manado. Ia menulis sebagai berikut:
Setelah
peristiwa tanggal 10 Agustus 1644 maka Spanyol menarik diri dari
Minahasa dan pindah ke pulau Siauw, tetapi kemudian menghasut Kerajaan
Bolaang Mongondouw untuk memerangi Minahasa. Dari sengketa
Minahasa-Mongondow sampai tahun 1651, terlihat nama-nama orang yang
mengobarkan perang mengusir Spanyol tanggal 10 Agustus 1644. Salah satu
korban dalam perang ini adalah seorang pater bernama Lorenzo Garralda
OFM. Mengapa ada angka 10.000 orang? Padahal penduduk Minahasa waktu itu
baru sekitar 21.000 jiwa. Dapat disimpulkan mengapa ada persatuan dari
keempat pakasaan ini, tidak lain karena serbuan dari Bolaang Mongondow
yang bermula dalam peristiwa Pingkan-Matindas. Persatuan dalam
menghadapi serbuan Bolmong inilah yang menyebabkan mengapa waktu Perang
Minahasa-Spanyol, hampir semua orang Minahasa ikut dalam penyerbuan
terhadap orang Spanyol.
Perang Tondano/Perang Minahasa di Tondano (Tahun 1808-1809)
Kebencian
bangsa Minahasa terhadap Belanda diakibatkan tindakan pegawai kompeni
yang berulang kali menghina dan menipu orang Minahasa. Walau terjadi
serangkaian perjanjian tahun 1789, dan 1790 ternyata pihak Kompeni
Belanda masih melakukan tindakan yang merugikan bangsa Minahasa. Puncak
dari emosi bangsa Minahasa meledak dalam peristiwa Perang Tondano tahun
1808-1809. Awalnya Gubernur Jenderal H.W. Daendels memutuskan
memperbesar Angkatan Bersenjata Hindia menjadi 20.000 anggota untuk
menangkal potensi serbuan Inggris di Jawa (waktu itu Belanda yang
dikuasai Perancis dimusuhi Inggris). Dalam rangka pelaksanaan keputusan
itu, 2.400 orang harus direkrut dari daerah Residensi Manado, dan dari
jumlah ini Minahasa mendapat jatah memasok 2.000 orang. Berbagai
perundingan yang dilakukan Residen C.C. Prediger dengan para ukung
selalu gagal sehingga pecahlah perang ini. Hampir seluruh walak di
Minahasa memberikan tenaganya untuk melakukan perlawanan di Benteng
Moraya di pemukiman Tondano di atas air. Para pemimpin waktu itu
Matulandi, Tewu dan Frederik Lumingkewas dari Tondano, Lontoh dari
Tomohon, dan Mamait dari Remboken. Akibat kalah strategi dan kekurangan
bahan makanan, benteng pertahanan ini runtuh pada malam antara tanggal 4
dan 5 Agustus 1809.
Pendudukan Jepang (1942-1945)
D. Minahasa Pasca Indonesia Merdeka
Minahasa
terbagi atas daerah-daerah otonom berupa kota dan kabupaten yang berada
di bawah administrasi Provinsi Sulawesi Utara (Sulut). Kota dipimpin
oleh seorang Walikota (dengan seorang Wakil Walikota) dan kabupaten
dipimpin oleh seorang Bupati (dan seorang Wakil Bupati). Daerah-daerah
tersebut adalah: Kota Manado, Kota Bitung, Kota Tomohon, Kabupaten
Minahasa, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Minahasa Selatan dan
Kabupaten Minahasa Tenggara. Ada juga sejumlah daerah yang sedang
memperjuangkan untuk menjadi sebuah daerah otonom yaitu Kota Langowan
dan Kabupaten Minahasa Tengah.
Pada mulanya Tanah Minahasa terdiri
dari satu kabupaten dan kota (Kab. Minahasa dan Kota Manado), kemudian
berkembang dengan lepasnya Kota Administratif Bitung tahun 1975 (menjadi
Kota Madya tahun 1990), Kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon
tahun 2003, Kabupaten Minahasa Utara tahun 2004. Kabupaten Minahasa
Tenggara pisah dari Minsel bulan Mei 2007.
Pada 25 Februari 2003
Kabupaten Minahasa dimekarkan menjadi Kabupaten Minahasa, Kabupaten
Minahasa Selatan dan Kota Tomohon berdasarkan UU No. 10/2003 tentang
Pembentukan Kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon di Provinsi
Sulawesi Utara. Pada tanggal 18 Desember 2003 Kabupaten Minahasa
dimekarkan lagi menjadi Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Minahasa Utara
berdasarkan UU No. 33/2003.
Daerah Minahasa Selatan dibentuk
berdasarkan UU RI No. 10/2003 tentang Pembentukan Kabupaten Minahasa
Selatan dan Kota Tomohon di Provinsi Sulawesi Utara oleh DPR RI. Namun
kedua daerah pemekaran baru ini diresmikan pada tanggal 4 Agustus 2003
dengan pelantikan penjabat Walikota Tomohon dan penjabat Bupati Minahasa
Selatan.
Kabupaten Minahasa Tenggara kemudian lepas dari Kabupaten
Minahasa Selatan berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 2007 tanggal 2
Januari 2007.
E. Pergolakan Permesta
Samua penduduk, binatang, deng pohon, deng rumput pun samua pro Permesta!
Hanja
kalau kering Danau Tondano, rata Gunung Lokon, Klabat dan Soputan, baru
Tentara Djuanda dapat mengindjakkan kakinja di Minahasa
Jumat
tengah malam tanggal 1 Maret 1957, sejumlah tokoh masyarakat di kota
Makasar di jemput untuk berkumpul di gubernuran. Mereka hendak
mengadakan rapat untuk persiapan sebuah proklamasi dari suatu hasrat
luhur yang sudah sangat lama menggejolak. Malam telah merambat dini
hari. Pukul 3 rapat di buka, oleh Overste Ventje Sumual. Ia membacakan
proklamasi itu.Inilah Proklamasi SOB (Staat van Oorlog en Beleg)
PERMESTA tersebut, yang memulai babak baru dalam sejarah Indonesia
Bagian Timur:
P R O K L A M A S I
Demi
keutuhan Republik Indonesia, serta demi keselamatan dan kesedjahteraan
Rakjat Indonesia pada umumnja, dan Rakjat Daerah di Indonesia Bahagian
Timur pada chususnja, maka dengan ini njatakan seluruh wilajah
Territorium VII dalam keadaan darurat perang serta berlakunja
pemerintahan militer sesuai dengan pasal 129 Undang - Undang Dasar
Sementara , dan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1948 dari Republik
Indonesia.
Segala peralihan dan penjesuaiannja dilaku-
kan dalam waktu jang sesingkat-singkatnja dalam arti tidak, ulangi tidak
melepaskan diri dari Republik Indonesia.
Semoga Tuhan Jang Maha Esa beserta kita dan menurunkan berkat dan hidajatNja atas umatNja.-
Makassar , 2 M a r e t 1957.-
Panglima Tentara & Territorium VII
ttd. Letk : H.N.V. Sumual/ Nrp : 15958
Selanjutnya
Saleh Lahede membacakan Piagam Perdjuangan Semesta Alam, yang menjadi
landasan pelbagai program pembangunan yang segera dilancarkan.
Prestasi Anak Bangsa
Pahlawan Nasional Indonesia
Mereka
adalah Dr. G.S.S.J. Ratulangi (Sam Ratulangi), Maria Walanda-Maramis,
Arie F. Lasut, R. Wolter Mongisidi, Pierre A. Tendean.
Tou Minahasa (Kawanua) yang pernah menjadi menteri dlm kabinet RI :
1. Mr. Alexander Andries (Alex) Maramis (Tonsea)
2. Ir. Herling Laoh (Sonder)
3. Frits Laoh (Sonder)
4. Mr. Arnoldus Isaac Zacharias (Arnold) Mononutu (Tonsea/Minut)
5. Frans Ferdinand (Nyong) Umbas (Kawangkoan)
6. Gustaaf Adolf (Utu’) Maengkom (Tondano)
7. Ir. Freddy Jaques (Fred) Inkiriwang (Kakas)
8. Ds. Wilhelm Johanis (Wim) Rumambi (Kakas-Tondano)
9. Drs. Jan Daniel Massie (Langowan)
10. Hans A. Pandelaki (Tomohon)
11. Drs. Theo Leo Sambuaga (Manado/Tonsea)
12. Jenderal TNI Try Soetrisno (Supit – Tompaso/Kanonang)
13. Laksamana TNI Soedomo (Rawis – Tompaso)
14. Hayono Isman (Wowor – Remboken)
15. Letjen. TNI Purn. Evert Ernest (Lape) Mangindaan, SH, SE (Amurang)
Kabinet-kabinet Negara Indonesia Timur (NIT)
Tou Minahasa (Kawanua) yang pernah menjadi menteri dalam kabinet NIT:
1. Dr. S.J. Warouw
2. E. Katoppo
3. G.R. Pantouw (Udo)
4. E.D. Dengah (Mais)
5. Mr. S.S. Pelengkahu
6. Dr. W.J. Ratulangi
7. Henk Rondonuwu
8. Ir. F.J. Inkiriwang (Fred)
Perempuan Minahasa
Bangsa
Minahasa memiliki perempuan yang berprestasi. Ini dapat ditelusuri pada
leluhur bangsa ini yang adalah wanita. Cikal bakal Minahasa ini bernama
Lumimuut yang dipelihara oleh seorang perempuan tua bernama Karema.
Lumimuut ini mengawini Toar, anaknya sendiri karena situasi Malesung
saat itu yang tidak berpenghuni. Dari keturunan Toar-Lumimuut
terbentuklah suatu bangsa yang bernama Malesung yang sekarang dikenal
dengan Minahasa. Pada mulanya sistem kekerabatan di Malesung adalah
menurut sistem matrilineal, yaitu keturunan yang berdasarkan atas garis
keturunan perempuan. Pada perjalanan sejarahnya, sistem kekerabatan
Malesung berubah menjadi sistem patrilieal, yaitu sistem kekerabatan
yang berdasarkan atas garis keturunan pria seperti penggunaaan fam
dewasa ini.
Pada era sekarang ini dapat kita catat prestasi
sejumlah wanita Minahasa tersebut. Mereka adalah Wilhelmina Warokka
(Mien) – seorang guru wanita pertama di Meisjesschool Tomohon, Ny. Maria
Josephine Catharina Walanda-Maramis (1872-1924) – seorang pemerhati
status sosial kaum wanita Minahasa, Etty Catherina Waworoentoe
(1898-1986) – pioneer dalam penddikan wanita, Wulankajes Rachel
Wilhelmina Ratulangi (kakak Dr. Sam Ratulangi dan istri Mayoor A.H.D.
Supit) – wanita Indonesia pertama yang merebut ijasah pegawai K.E.
(Kleinambtenaar) tahun 1898, Wulan Ratulangi (kakak kedua Dr. Sam
Ratulangi) – wanita Indonesia pertama yang berhasil memperoleh ijasah
Hulpacte tahun 1912, Nona Marie Doodoh – orang Indonesia pertama yang
lulus Europeesche Hoofdacte, Stientje Adam – pemakalah dalam Kongres
Pemuda Indonesia tahun 1926 dan 1928, Johana Masdani-Tumbuan (1910-2006)
– pembaca teks Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda tahun 1928, Ny. S.K.
Pandean (1911-1997) – singa betina dari Minahasa, Dr. Marie Thomas
(1896-1966) – dokter wanita pertama Indonesia lulusan STOVIA tahun 1922,
Dr. Anna Warouw (1898-1979) – dokter wanita ketiga Indonesia lulusan
STOVIA tahun 1924, Dr. Dee M.A. Weydemuller – dokter wanita kedua
Indonesia lulusan NIAS Surabaya 1924, Prof. Dr. Mr. Annie Abbas-Manopo
(1909-...) – sarjana hukum wanita pertama Indonesia lulusan HKS Batavia
tahun 1934 juga guru besar wanita pertama Indonesia, Ny. A. M. Tine
Waworoentoe (1899-1987) (anak Mayoor Bintang A.L. Waworuntu) – walikota
wanita pertama Indonesia tahun 1950, Antonetee Waroh (1901-1991) –
anggota parelemen wanita pertama di Indonesia Timur, Dr. Agustina/Zus
Ratulangi (anak Dr. Sam Ratulangi) – anggota parlemen wanita &
termuda di Indonesia, Pdt. Tine Lumentut (1937-2002) – dianggap sebagai
wanita pertama di dunia yang memgang jabatan setingkat Uskup Agung dalam
kapasitasnya sebagai Ketua Sinode GKST (setingkat Uskup Agung). Selain
itu kita mengenal Marianne Katoppo, STh (...-2007) – sastrawan wanita
Indonesia, Vonny Anneke Panambunan – wanita yang menjadi Bupati Minahasa
Utara sejak tahun 2005, Linneke Sjenny Watoelangkow – wanita yang
menjadi Wakil Walikota Tomohon sejak tahun 2005.
Ny. Mathilda
Towoliu-Hermanses menjadi Ketua Dewan Kota Makassar masa permulaan
Pergolakan Permesta tahun 1957. Ny. Theodora Walndouw, Asisten ketua
Wanita Kristen Indonesia tahun 1948, Sekretaris dan Bendahara Kongres
Wanita Indonesia 1948-1958, wakil rakyat di DPR-GR 1964.
A.L.
Waworuntu dalam tulisannya tahun 1917: Laporan terakhir dari pendidikan
pribumi dapat dibaca di halaman 40: “Prosentasi murid-murid perempuan
(di seluruh Hindia Belanda), dimana sekolah-sekolah Keresidenan Manado
adalah 36,4 %.
Ingatlah bagimu, Pudjikan termasa, Hhormat nama djadimu ... bTanah Minahasa.
(Ingatlah selalu dan hormatilah namamu, Tanah Minahasa)
(Dr. J.G.F. Riedel, 1862)
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking