Vrydag 31 Mei 2013

Batu Buaya, Batu Opo dan budaya Bantik

Malalayang yang didiami komunitas Tou Bantik, diam-diam ternyata memiliki legenda mistis tentang suatu batu yang dinamakan Batu Buaya. Jejak sejarah yang diduga dari jaman sebelum masehi dan belum tersentuh ini. Menyimpan daya tarik yang kuat. “Nilai Jualnya” sama dengan Batu Pinabetengan. Bahkan sejumlah batu-batu yang dianggap bertuah di Malalayang Bantik ini menyimpan sejuta cerita sejarah bernuansa magis. Cerita magis Bantik atau umumnya Tou Minahasa inipun tidak kalah hebatnya dengan cerita pewayangan seperti di Jawa atau cerita legenda Joko Tingkir.



Bagi warga Tou Bantik sendiri dikenal beberapa batu bersejarah; diantaranya Batu Buaya, Batu Kuangang, Batu Opo. Batu Buaya adalah yang berbentuk seperti buaya. Batu ini terletak di kelurahan Malalayang Satu, sedangkan Batu Kuangang berada di Kelurahan Malalayang Satu Barat dan Batu Opo di Kelurahan Malalayang.



Batu Buaya lebih dikenal dengan legenda perang antara dua suku di Minahasa pada jaman dulu. Yakni; Tonaas Tonsawang dengan Tonaas Bantik. Sedangkan Batu Kuangang dan Batu Opo adalah batu bertuah. Berbagai kejadian aneh mengikuti sejarah batu-batu yang diyakini memiliki kekuatan gaib ini. Bahkan, menurut warga kampung setempat, tak jarang sejumlah pejabat penting di negara ini berkunjung minta wangsit disini.

Malalayang yang didiami komunitas Tou Bantik, diam-diam ternyata memiliki legenda mistis tentang suatu batu yang dinamakan Batu Buaya. Jejak sejarah yang diduga dari jaman sebelum masehi dan belum tersentuh ini. Menyimpan daya tarik yang kuat. “Nilai Jualnya” sama dengan Batu Pinabetengan. Bahkan sejumlah batu-batu yang dianggap bertuah di Malalayang Bantik ini menyimpan sejuta cerita sejarah bernuansa magis. Cerita magis Bantik atau umumnya Tou Minahasa inipun tidak kalah hebatnya dengan cerita pewayangan seperti di Jawa atau cerita legenda Joko Tingkir.



Bagi warga Tou Bantik sendiri dikenal beberapa batu bersejarah; diantaranya Batu Buaya, Batu Kuangang, Batu Opo. Batu Buaya adalah yang berbentuk seperti buaya. Batu ini terletak di kelurahan Malalayang Satu, sedangkan Batu Kuangang berada di Kelurahan Malalayang Satu Barat dan Batu Opo di Kelurahan Malalayang.



Batu Buaya lebih dikenal dengan legenda perang antara dua suku di Minahasa pada jaman dulu. Yakni; Tonaas Tonsawang dengan Tonaas Bantik. Sedangkan Batu Kuangang dan Batu Opo adalah batu bertuah. Berbagai kejadian aneh mengikuti sejarah batu-batu yang diyakini memiliki kekuatan gaib ini. Bahkan, menurut warga kampung setempat, tak jarang sejumlah pejabat penting di negara ini berkunjung minta wangsit disini.

Donderdag 30 Mei 2013

WATU KAMEYA KAKASKASEN TOMOHON


Pada zaman dahulu sempat terjadi perebutan kekuasaan antara kedua penguasa gunung yakni Gunung  Lokon penguasaannya Pinontoan dan Gunung Mahawu adalah Rumengan. Perebutan kekuasaan awalnya dari perebutan seorang wanita yang bernama Katiwi Ambilingan sehungga pada waktu perebutan maka kedua belah pihak saling menyerang, Pinontoan menyerang berupa dengan bebatuan sedangkan Rumengan menyerang dengan abu dan air lumpur. Dalam pertempuran saling menyerang ini kedua-duanya tidak ada yang menang maupun kalah. Akhirnya kedua belah pihak yang bertikai saling bermusyawarah untuk menentukan batas Wilayah kekuasaan masing-masing. Maka Pinontoan dan Rumengan bertemu dan menetapkan keputusan bahwa batas atau sipat Wilayah kekuasaan masing-masing adalah di WATU KAMEYA, yang berlokasi sekarang di sebut TAINGKERE. Sebenarnya antara kedua Wilayah, dam kedua kelompok yang bertikai ini bertemu dan menentukan serta melakukan suatu sumpah bahwa bilamana kedua belah pihak melakukan penyerangan. Serangan tersebut hanya sampai di batas atau sipat yang sudah ditentukan yakni yang di namakan WATU KAMEYA yang sebenarnya adalah asal kata Tombulu Kai = kami, meye = datang .Jadi kameya hanya terjadi perubahan bahasa pada waktu pendudukan Belanda masuk Minahasa. Karena orang belanda tidak biasa menyebutkan dengan benar bahasa Tombulu.
WATU KAMEYA merupakan tempat bertemu atau datang kedua kelompok yakni antara keturunan Pinontoan dan keturunan Rumengan dan sampai sekarang mempunyai suatu bukti wilayah batas Pinontoan terdapat bebatuan yang memanjang dari arah selatang ke utara, dan wilayah batas Rumengan  hanya terdapat tanahan asal dari abu dan lumpur tadi.
Batas atau sipat kedua tadi biasa di lihat Watu Kameya. Batas ini sudah menjadi sebuah kali atau sungai selain dibatasi dengan pagar bebatuan memanjang dan tanah tebing. Pada waktu terjadi penyerangan inilah sehingga di batas wilayah ini mengeluarkan banyak sumber mata air akibat batu-batuan yang di serang membongkar tanah yang ada di batas tersebut. Dan mata air yang keluar didatangi oleh penguasa Gunung Lokon yakni Pinontoan  dalam bahasa Tombulu = Kameya untuk memanfaatkan air ini untuk tujuan-tujuan tertentu  selain untuk keperluan hidup sehari-hari. Selain itu pula tempat ini merupakan tempat ritual para keturunan Pinontoan. Sejak mulanya mata air terbuka, dan air ini benar-benar jernih serta sumbernya sangat banyak dan tersebar di wilayah kinaskas. Mata air yang keluar adalah sepanjang bebatuan tepatnya di bawah bebatuan itu , sampai saat sekarang kita biasa melihatnya. Mata air di sini sampai sekarang kebanyakan orang kakaskasen masih bergantung pada air tersebut baik untuk air minum maupun mandi. Di WATU KAMEYA inilah di namakan KEBUN TAINGKERE yang artinya air yang tercampur dengan warna kekuningan. Karena kelompok keturunan Pinontoan merupakan kelompok pengrajin batu. Jadi memang benar pada Zaman dahulu keturunan atau kelompok  Pinontoan adalah orang-orang pengrajin batu.  Di sepanjang WATU KAIMEYA tidak jauh terdapat pula WATU WULU karena pada zaman itu di WATU WULU banyak terdapat WATU KAMEYA. Seperti sarang. Demikian juga di WATU KAMEYA terdapat batu berbentuk Waruga dan penutup waruga merupakan inspirasi atau contoh sebelum pembuatan waruga-waruga saat itu. Di WATU KAMEYA banyak terdapat batu-batu yang berbentuk berupa BATU TUMOTOWA . di samping batu kameya terdapat pula batu dari Dotu Cina yang berbentuk kura-kura lagi menjunjung manusia. Di zaman itu pula di tempat ini sering diadakan atau perundingan-perundingan. Dan pada waktu masuknya diwilayah ini pengrajin batu orang keturunan Bantik maka tempat ini merupakan tempat berkumpur dan bersaru para  Leluhur  untuk melawan orang-orang bantik. Makanya tidak jauh dari tempat ini terdapat daerah-daerah yang dilakukan untuk pembantaian orang bantik, seperti Rano Lewo, Talumengan sampai yang namanya kumentur terpatnya yang bernama Tihis Wuntu bersebelahan dengan kampung tua  Nawanua berdekatan dengan 3 batu bakumangada yang disebut WATU PAHSARUAN. Jadi setelah masuknya orang-orang dari bantik maka kedua kelompok yang bertikai antara keturunan Pinontoan dan keturunan Rumengan berkumpul dan bersatu di WATU KAMEYA yang juga adalah batas atau sipat. Di WATU KAIMEYA inilah yang merupakan tempat bersejarah paling penting . selain untuk tempat pertemuan ritual-ritual budaya maupun tempat berkumpul antara kedua kelompok tadi yang bertikai akhirnya bersatu dan mengusir orang-orang Bantik yang sudah masuk di wilayah khususnya kinaskas. Ditempat ini pula sampai sekarang merupakan tempat ritual para tonaas-tonaas atau tua-tua kampung secara turun-temurun baik untuk mengenang sejarah tempat ini maupun untuk kepentingan-kepentingan adat. Dan sampai saat bila terjadi letusan baik Gunung Lokon maupun Mahawu hasil letusan tidak ada yang melewati batas atau sipat yang sudah  disepakati dan si sumpahkan dalam pertemuan ini.
Demikian sekilas sejarah adanya WATU KAMEYA KINASKAS dan juga mata airnya, lokasi ini berada di bawah kaki lereng gunung lokon tepatnya yang dinamakan kebun taingkere jalan menuju lokasi galian batu kelurahan kakaskasen 1 kecamatan Tomohon utara.

Dinsdag 28 Mei 2013

Surat Pernyataan Hukum-Hukum se-Walak Tondano Untuk Masuk Kristen Tahun 1783


SURAT PERNYATAAN/PERJANJIAN
HUKUM-HUKUM WALAK TONDANO
UNTUK MASUK KRISTEN TAHUN 1783

Bahuwa oleh pengingatan kamij jang kamij sudah mengakoh dengan songoh-songoh dan benar-benar maka itu samuwa kamij ini akan soedah djadi dalam negeri Tondano pada hb. 20 April 1783.
Adapon dengan sekalijen kamij Hm. Tuwah deri Tondano Hukum tuwah Pangalilah dengan Hukum tuwah Sumondak dengan Hukum lajin-lajin dan bobato-bobato lajin-lajin ampunja pengakowan jang benar-benar didalam surat ini.
Maka dengan songoh-songoh dan benar-benar kamij minta kapada oleh tuwan Panghulu Menado Johannis Both dalam pengakowan kamij dengan segala hatij jang sutji djikalow tuwan Kompanija akan sajang pada kamij pada menarima agama saranij ajer permandijan jang khudus itu pada kamij akan kaseh bala-bala rajat dan kamij akan dudokh dipante Atep, maka samuwa kamij sudah bertanda dalam surat putusan ini dengan songoh-songoh dan benar-bnar.
Tanda Hukum Tuwah Pangalilah X
id. id. id. Sumondakh X
id. id. id. Tololiuw X
id. id. id. Kumenap X
id. id. id. Lensun X
id. id. id. Tangkilisan X
id. id. id. Item X
id. id. id. Walintukan X
id. id. id. Tunpolas X
id. id. id. Kepel X
id. id. id. Rumende X
id. id. id. Kumendong X
id. id. id. Wenseng X
id. id. id. Kasegeran X
id. id. id. Komumbing X
id. id. id. Supit X
id. id. id. Rumagit X
id. id. id. Palandikh X
id. id. id. Emor X
id. id. id. Sumampo X
id. id. id. Sumendap X
id. id. id. Lotulung X
id. id. id. Wulur X
id. id. id. Rampas X
Berikot Hukum tuwah di Kakas mengako dengan songoh-songoh dan benar-benar akan bertandakan dalam surat ini.
Hukum tuwah Mumekh X
id. id. id. Rampengan X
Kamij sekalijen Hukum-Hukum deri tiga Balakh, Tondano, Kakas dan Remboken samuwa akan turut ampunja sumpahan kamij dihadapan tuwan Kompanija deri kamij orang djikalow pada barang sijapa-sijapa mauw melawan diatas kamij ampunja sumpahan akan polote seperti senapan. Berikot lagi djikalow sijapa-sijapa mauw melawan akan tikam dengan sagu-sagu lagij berikot bagitu babunji diatas kamij ampunja sumpahan.
Toumambot ada X lima parentah dalam Hukum tuwah Pangalilah ampunja djaga mester
id. id. Wilar X
id. id. Sendukh X
id. id. Rantung X
id. id. Tetengean X
id. id. Mamait X
id. id. Koruwa X
Ini Hukum-Hukum deri Remboken mengako dengan songoh-songoh dan benar-benar samuwa kamij djadij bertanda dalam ini surat.
Tanda Hukum tuwah Sendok X
id. id. id. Kaloh X
id. id. id. Mijojoh X
id. id. id. Panekenan X
id. id. id. Walujan X
id. id. id. Rampengan X
Kamij sekalijen Hukum-Hukum deri tiga Balakh, Tondano, Kakas dan Remboken samuwa akan turut ampunja sumpahan kamij dihadapan tuwan Kompanija deri kamij orang djikalow pada barang sijapa-sijapa mauw melawan diatas kamij ampunja sumpahan akan polote seperti senapan. Berikot lagi djikalow sijapa-sijapa mauw melawan akan tikam dengan sagu-sagu lagij berikot bagitu babunji diatas kamij ampunja sumpahan.
Toumambot ada X lima parentah dalam Hukum tuwah Pangalilah ampunja djaga mester kaseh sapulu dapur: bagitu lagi pada Hukum Emor ada satu parentah mester kaseh sapulu dapur, bagitu lagij pada Hukum Supit dan Hukum Rumagit ada satu parentah mester kaseh sapulu dapur, bagitu lagij pada Hukum Palandikh ada satu djaga mester kaseh sapulu dapur barikot lagij pada Hukum Kominbing lagij satu djaga mester kaseh sapulu dapur, berikot sampe lima parentah mester djadi lima pulu dapur, diluwar sijapa-sijapa suka pergij, dan sijapa-sijapa mauw peleh atau mauw melawan diatas ampunja perdjanjian haras dan patut mester dapat sala 2 ratus dan duwa laskor begitu kamij ampunja perdjandjian.
Berikot Toulijan Hukum Samuwal parentah dalam Hukum tuwah Sumondakh ada satu parentah mester kaseh 10 dapur berikot lagij dalam Hukum Lensun ada satu parentah mester kaseh 10 dapur, berikot lagij Hukum Walintukan ada satu parentah mester kaseh 10 dapur, bagitu lagij pada Hukum Sumuwal ada satu parentah mester kaseh sapulu dapur bagitu lagij Hukum Kumenap ada satu djaga mester kaseh 10 dapur berikot sampe lima parentah mester djadji lima pulu dapur diluwar sijapa suka pergij, dan sijapa mauw peleh atau melawan diatas ampunja perdjandjian haras dan patut mester dapat sala 2 ratus dan duwa laskar begitu kamij ampunja perdjandjian.
Tondano pada 20 harij bulan April 1783.
Adapon sekalijen Hukum-Hukum, Hukum tuwah Wilar dan Hukum Tuwah Mumek dan Hukum lajin-lajin dan bobato-bobato sakalijen.
Dengan permintaän kamij maka dengan songoh-songoh dan benar-benar kepada panghulu kamij Johannis Both jang kamij akan kaseh balah rajat kamij pada turung di pante Atep jang kamij akan memberij kawasa djuga pada sijapa-sijapa peleh atau melawan diatas kamij ampunja perdjandjian harus dan patut mester dija dapat salah 2 ratus dan 2 laskar bagitu kamij ampuja perdjandjian.
Maka samuwa kamij bertanda dengan songoh-songoh dan benar-benar.
Hukum tuwah Wilar X
id. id. Mumek X
id. id. Sendukh X
id. id. Rantung X
id. id. Tetengean X
id. id. Mamait X
id. id. Karuwah X
Adapon dengan samuwa kamij Hukum-hukum tuwah di Remboken, Hukum tuwah Sedek dengan Hukum tuwah Kaloh dengan Hukum lajin-lajin dan sakalijen bobato-bobato maka permintaän kamij dengan songoh-songoh dan benar-benar tuwan pangulu kamij Johannis Both jang kamij akan kaseh bala Rajat kamij pada turung di pante Atep jang akan memberij kwasa djuga pada sijapa-sijapa suka pergij bijar dija pergij djuga djikalow sijapa peleh akan dapat sala 2 ratus dan 2 laskar bagitu kamij ampunja perdjandjian.
Maka sakalijen kamij Hukum-Hukum akan bertanda ini nama-nama dengan songgoh-songgoh dan benar-benar dalam surat putusan ini dengan tamat.
Tanda Hukum tuwah Sendoh X
id. id. id. Kaloh X
id. id. id. Mijojoh X
id. id. id. Panekenan X
id. id. id. Lajang X
id. id. id. Rampengan X
id. id. id. Tilaär X

TONDANO, 20 hb. April 1783.




Kota Tondano 1821

Maandag 27 Mei 2013

Sepenggal Sejarah Perjuangan Masyarakat Kaneyan Melawan Penjajahan Jepang (Bumihangus dan Pembantaian Rakyat di Kaneyan Minahasa Selatan)


Kaneyan hanya desa kecil di pelosok Kecamatan Tareran Kabupaten Minahasa Selatan. Tak ada yang mencolok bila mengunjunginya, sebab Kaneyan lazimnya negeri-negeri lain di Tanah Minahasa. Namun, jangan heran, kalau nama Kaneyan harum serta menghiasi buku-buku sejarah yang mengulas tentang Perang Dunia II, khususnya kisah Perang Pasifik serta invasi Jepang ke Indonesia. Dari desa yang di masa tersebut masih masuk wilayah kekuasaan Kepala Distrik Kawangkoan menggelora pertempuran heroik antara pasukan Dai Nippon yang canggih peralatannya melawan sisa-sisa pasukan KNIL dibantu pemuda yang bersenjata senapan mesin ringan seadanya.


Bagi Sersan Johan Meliëzer (kelahiran Ternate 6 Agustus 1896), komandan E Company, peleton (disebut kompi) Reserve Korps (RC) Oud Militairen, Kaneyan merupakan medan pertahanan strategis dalam konsep perang gerilya (gorela) yang telah dikumandangkan Komandan Garnisun (Troepencommandant) Manado Mayor B.F.A.Schilmöller. Kaneyan akan menjadi pertahanan dan medan laga terakhir dari sisa-sisa kompi RK pimpinan Kapten Willem Carel van den Berg yang telah hancur.

Meski sekedar pasukan cadangan, beranggotakan para pensiunan Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger (KNIL), alias militer tua, dengan usia rata-rata di atas 50 tahun, namun semangat juang peleton yang dipimpinnya tidak luntur. Dari 5 peleton awal Reserve Korps, tinggal pasukannya yang tersisa setelah mereka mundur dari Kakas dan Langowan. Pertempuran yang begitu sengit, sehingga banyak menewaskan serdadu Jepang, dan juga banyak korban di pihaknya. Peletonnya ikut menderita kerugian tak terkira, sebab dari tiga brigade (regu) dibawahnya, tinggal tersisa satu regu berkekuatan 15 anggota.

Banyak perwira dan rekannya telah ditahan atau gugur dan dibunuh oleh Jepang yang  tidak mengindahkan aturan baku internasional tentang perlakuan terhadap para tahanan perang (POW). Dari Kompi Manado pimpinan Kapten W.F.J.Kroon, telah dieksekusi di Langowan tanggal 26 Januari Sersan Mayor Infantri Jan Hendrik Kersten, Sersan Mayor Gerrit Bottinga, Sersan J.W.Meijer, Sersan G.H.J.Wissink, Sersan Charles Hendrik Couzijn dan Sersan H.J.A.Rolff ¹.

Willem Carel van den Berg 



Di subuh hari Senin tanggal 9 Maret 1942²  yang bersuasana kelabu, ketika sebagian besar penduduk Kaneyan masih terlelap tidur, pasukan Jepang datang menyerang. Jepang mengetahui Sersan Johan Meliëzer beserta sisa-sisa peletonnya bertahan di negeri tersebut. Beberapa serdadu Meliëzer memang asli Kaneyan sehingga sangat menguntungkan rencananya dengan penguasaan medan serta dukungan moral dan materil dari penduduk.
Pasukan Dai Nippon berkekuatan satu kompi organik datang dari dua arah. Tentara berjalan kaki dari arah jembatan Ranotua’na ke Kaneyan, sedang lainnya dengan menggunakan puluhan kendaraan muncul dari jurusan Ritey (kini desa di Kecamatan Amurang Timur). Mereka dihantar langsung Kepala Distrik Amurang, Hukum Besar (Guntjo) Dirk ‘Dicky’ August Theodorus Gerungan serta Kepala Distrik Kedua (Huku Guntjo) Amurang-Tenga, Hukum Kedua Hein ‘Notji’ Constantjin Mantiri.

Pasukan Jepang segera mengepung dengan mengambil steleng di sebelah utara, barat, timur dan selatan negeri untuk mencegah siapa pun meloloskan diri. Ketika penduduk bangun pagi dan mengetahui kedatangan pasukan Jepang, kehebohan segera terjadi. Panik dan ketakutan mereka berlarian tunggang-langgang ke berbagai arah. Namun, dengan mudah ditangkapi, sebab pasukan Jepang telah menyebar dan mencegat di tempat-tempat penting.

Penduduk yang ditangkap langsung diinterogasi disertai dengan penyiksaan. Pukul rata mereka ditanyai dimana pasukan gorela Sersan Johan Meliëzer bersembunyi, dimana rumah-rumah dari para gorela, dimana rumah Hukum Tua dan rumah keluarga Houtman-Pratasis³.

Houtman dimaksud adalah bule keturunan Belgia bernama lengkap Pieter Joseph Houtman yang memperistri wanita asal Kaneyan bernama Carolina Pratasis. Pieter Houtman adalah orang terpandang dan mantan kepala dinas Pekerjaan Umum serta polisi di Kotamobagu Bolaang Mongondow. Ia salah seorang warga sipil penerima gelar kehormatan Ridder(ksatria) in de Militaire Willems-Orde (MWO), yang biasa diberikan untuk tindakan keberanian dan loyalitas. Pieter Houtman diketahui pula seorang yang kaya dan menyimpan puluhan batangan emas murni yang diperolehnya sejak masih bertugas di Kotamobagu.

Pieter dicari Jepang karena menyangkanya sebagai pejabat dari regu pembumihangus (Vernielings Corps) yang dibentuk Belanda untuk menghalangi gerak-maju pasukan Jepang di Minahasa. Regu tersebut bertugas menghancurkan jembatan, gudang-gudang persediaan beras dan kopra yang akan menguntungkan bila nanti jatuh ke tangan Jepang. Selain itu, ia dianggap membantu bekas Reserve Korps KNIL yang bersembunyi di Kaneyan. 
Truk Jepang di Kakaskasen Tomohon 


Pasukan Jepang segera menyisir menuju ke tengah-tengah negeri dan melakukan penggerebekan. Mereka berhasil menangkap Pieter Houtman dan menyita puluhan batangan emas murni miliknya. Carolina Pratasis istri Pieter berhasil meloloskan diri, lari bersembunyi di hutan bersama-sama dengan keluarga Pratasis lain disertai hukum tua dan keluarga-keluarga dari pasukan Johan Meliëzer.

Marah tidak menemukan orang-orang yang dicari meski telah menangkap Pieter Houtman, pasukan Jepang mulai membabi-buta. Mereka segera membumihanguskan Kaneyan. Dalam sekejab Kaneyan berubah menjadi lautan api yang meludaskan seisi negeri. Habis terbakar antaranya gedung gereja GMIM yang digunakan pula untuk kegiatan belajar-mengajar Sekolah Rakyat (kini SD) GMIM Kaneyan. Lalu rumah hukum tua dan rumah keluarga Pieter Houtman-Pratasis, begitu pun rumah-rumah dari keluarga para serdadu KNIL yang bergerilya. Sebuah jembatan di tengah Kaneyan ikut dihancurkan.   

Kebakaran hebat melanda Kaneyan selama hampir tujuh jam. Akibatnya tiga perempat bagian negeri tersebut musnah terbakar, bersama barang-barang perabot rumah, persediaan padi, jagung dan kopi yang belum lama dipanen. Bahkan terbakar pula semua ternak peliharaan seperti babi, ayam dan anjing.

Pembumihangusan Kaneyan disaksikan Guntjo Amurang Dicky Gerungan serta Huku Guntjo Notji Mantiri yang tidak dapat berbuat apa-apa. Dicky Gerungan yang di kemudian hari menjadi Bupati (KDM, Kepala Daerah Minahasa) pertama, saat itu menjadi kepercayaan Letnan Kolonel Toyoaki Horiuchi dari Teikoku Kaigun (AL Kerajaan Jepang, IJN) yang bermarkas di Langowan yang bertugas mengatur pemerintahan sipil di Minahasa.

Frans Albert Suak, saksi mata peristiwa tanggal 9 Maret 1942 itu mengisahkan semua penduduk yang berlarian ditangkap dan dijadikan sandera, dijaga ketat pasukan bersenjata lengkap yang beringas. Tidak memandang bulu apakah sandera masih anak-anak balita atau remaja, wanita dan orang tua tidak berdaya. Mereka semua dicampur-aduk menjadi satu. Hari yang tidak bakal dilupakan Frans Suak, karena hari itu ia genap berumur empat tahun dan ikut ditahan bersama ibu dan seorang adik lainnya.

Pembakaran serta penyanderaan penduduk Kaneyan itu menyebabkan pasukan KNIL Johan Meliëzer melakukan serangan balik, sehingga kemudian terjadi pertempuran sengit. Personil Meliëzer yang awalnya hanya terdiri satu regu (15 orang) telah berkembang menjadi 30 orang setelah sejumlah pemuda Kaneyan, Ritey dan Maliku dibawah pimpinan Simon Penu dan Yahya Rumagit secara sukarela bergabung untuk melawan Jepang.

Para gorela mantan KNIL dan pemuda yang melakukan perlawanan antara lain: Simon Penu, Gerard Ratag, Erick Ratag, Ulrich Umboh, Jus Sumolang, Harun Rantung, Arie ‘Odie’ Ropa, Sengkey Rantung, Hein Rantung, Piet Umboh, Buang Rumengan, Jost Kawulur, Jon Suak, Jan Winerungan, Nyong Tambajong, Kilapong dan Alex Lambertus Lelengboto (masih remaja. Kelak jadi Bupati Minahasa 1982-1987).
‘’Pertempuran berlangsung seru diwarnai dentuman mortir pasukan Jepang dan balasan tembakan peluru para gorela dan pemuda yang bertahan di bukit-bukit,’’ kisah Frans Suak.

Pertempuran berakhir dramatis. Tak ada korban di pasukan Meliëzer. Justru korban jiwa ada di pihak Jepang yang menggunakan senjata berat. Serdadunya banyak menderita luka, bahkan tewas terkena peluru tembakan eks KNIL yang terkenal sebagai penembak-penembak jitu. Delapan tentara Jepang tewas, sedangkan komandannya Baron Masakaze Takasaki menderika luka-luka.

Kemarahan tentara Jepang tak terbendung. Sejumlah gorela termasuk keluarganya, apalagi yang memiliki fam Pratasis ketika tertangkap langsung disiksa dengan dipukul dan ditendang. Mereka pun segera membunuh enam orang tahanan di ujung Kaneyan di tempat bernama Tolongko. Para korbannya adalah: Petrus Penu, Frederik Joel Rumengan yang menjadi Kepala Sekolah Rakyat GMIM Kaneyan, Runtu Ropa dan Sampel Tambajong. Dua wanita yang ikut dibunuh adalah ibu Hukum Tua Ritey Kimbal-Piay-Imbar dan Dina Pratasis seorang janda. Dina Pratasis adalah nenek (oma) Frans Suak dan kakak dari Carolina Pratasis, istri Pieter Joseph Houtman.

‘’Cara pembunuhan para korban termasuk oma saya, sangat sadis dan tidak berperikemanusiaan. Setelah mata mereka ditutup kain hitam, mereka diperintah membuka mulut, lalu ditusuk menggunakan bayonet seperti menyembelih seekor babi,’’ ungkap Frans Suak yang belakangan menjadi guru serta penginjil Pantekosta.

Mayat keenam korban pembunuhan dibiarkan begitu saja di pinggir jalan. Baru berselang beberapa hari kemudian keluarga dan penduduk memberanikan diri mengambil serta menguburkan jenasah mereka.

Usai melakukan pembunuhan, pasukan Jepang yang secara moril kalah, pulang kembali. Tentara yang ke Amurang dihadang ulang pasukan Meliëzer di lokasi bernama Le’ler, sehingga sempat berlangsung bakutembak. Pieter Joseph Houtman bersama emas sitaan dibawa ke Langowan dan dikabarkan segera dieksekusi mati.

Selang beberapa hari kemudian, tentara Jepang dengan kekuatan lebih besar dan bersenjata lengkap kembali mendatangi Kaneyan. Sisa-sisa bangunan dibakar habis. Dengan dipimpin Suoth dan Kawung, mereka menyisiri wilayah-wilayah perkebunan mencari para gorela dan keluarga Pratasis. Dalam operasi ini tertangkap Sersan Johan Meliëzer, Simon Penu, Carolina Houtman-Pratasis, Joel Pratasis, Hukum Tua Kaneyan, Althin Gode Pratasis, Musa Pratasis, Yahya Rumagit, Jus Sumoked, Ulrich Umboh dan Agam Penu. ‘’Ada versi pasukan gorela menyerahkan diri secara sukarela dan tidak melakukan perlawanan lagi karena penduduk Kaneyan dan keluarganya diancam akan dibunuh habis,’’ ungkap Frans Suak.

Kesemua tahanan tersebut diangkut ke Langowan, sekitar 28 kilometer dari Kaneyan. Mereka mengalami siksaan mengerikan selama diinterogasi, dan tak lama kemudian, diperkirakan di awal bulan April 1942 mereka dibawa ke Totolan Kakas dan dibunuh secara kejam serta dikuburkan dalam satu lubang. Sumber-sumber menyebut sebanyak 27 anggota pasukan dan masyarakat Kaneyan yang dibunuh saat itu. Sersan Johan Meliëzer bersama 12 anak buahnya dan sisanya adalah para penduduk. Yang luput dari eksekusi Jepang hanya Agam Penu.  

Penderitaan penduduk Kaneyan setelah pembunuhan para gorela dan warga itu ternyata belum berakhir. Meski tinggal mengungsi di kebun karena rumah dan harta benda sudah habis terbakar, gerak-gerik mereka terus dalam pengawasan Kempetai yang sangat ditakuti.

Belum lama berselang, seluruh warga tanpa pengecualian diperintahkan berkumpul di Amurang. Maka, semua penduduk Kaneyan, laki-laki, perempuan, tua dan muda termasuk anak-anak berjalan kaki sejauh 15 kilometer dengan hanya berpakaian di badan dan tanpa membawa bekal. Ketika tiba di lokasi pemeriksaan (kini sekitar halaman gedung DPRD Kabupaten Minahasa Selatan dan SMP Negeri I Amurang), di bawah pohon beringin, mereka dipisah-pisah. Kaum pria segera diinterogasi tentara Jepang dan Guntjo Dicky Gerungan serta Huku Guntjo Hein Mantiri. Berbekas diingatan Frans Suak yang baru berusia 4 tahun ketika tentara Jepang tanpa segan-segan memukul siapa pun dengan cambuk rotan. Salah satu yang kena cambukan adalah ayahnya sendiri.

Usai pemeriksaan, mereka disuruh pulang kembali dengan berjalan kaki. ‘’Itu merupakan penderitaan tak terhingga, karena rata-rata semua orang dalam kondisi lemah sebab lapar dan kelelahan,’’ kisahnya.

Karena hukum tuanya telah dibunuh, untuk mengisi kevakuman pemerintahan, Guntjo Dicky Gerungan dengan izin Jepang mengangkat Narsisius Ropa menjadi Sontjo (sebutan hukum tua) di Kaneyan.

Belum lama pula, hanya berselisih beberapa minggu kemudian, semua laki-laki Kaneyan diperintahkan untuk bekerjabakti di tempat-tempat jauh, pergi ke Mapanget, Bitung, Kalawiren, Langowan, Kiawa, Tawaang dan bahkan hingga ke Kotamobagu. Mereka diperintah membawa makanan sendiri dan harus jalan kaki tanpa uang. Ketika berangkat, ada penduduk yang mesti membawa roda sapi bersama sapinya, sebab diperintahkan siapa pun yang punya sapi dan roda harus membawanya.
                         Perwira militer dan angkatan laut Jepang di Manado tahun 1945. *)


Melalui Nantaku, dikisahkan Frans Suak, para laki-laki Kaneyan dipaksa bekerja rodi selama berbulan-bulan. Mereka mesti meninggalkan istri dan anak-anak yang menghuni pondok-pondok kecil di penyingkiran tanpa pakaian dan makanan. Tak heran ketika itu berjangkit penyakit sampar, busung lapar, malaria, luka-luka dan kudis. Untuk membeli obat penduduk tidak memiliki uang. Otomatis obat tradisional yang digunakan.
Kemiskinan luar biasa melanda penduduk. ‘’Kala itu muncul perintah lagi penduduk harus memelihara ayam dan babi yang diperuntukkan Nantaku. Kaum perempuan diwajibkan membuka lahan perkebunan ditanami kapas yang diperuntukkan pabrik tekstil dari perusahaan Jepang Nantaibo. Sehari-suntuk mereka harus bekerja dengan membawa bekal sendiri, sehingga yang menjaga pondok-pondok hanya anak-anak kecil.’’

Penduduk berimprovisasi sendiri. Tak ada pakaian, para lelakinya membuat pakaian cidako dari kulit pohon. Obat malaria diambil dari kulit pohon Kita’ yang diminum sebagai pengganti obat kina.

Selang 3,5 tahun masa pendudukan Jepang di Minahasa, penduduk Kaneyan benar-benar menderita lahir-batin. Tapi, dari penderitaan itu mereka tertempa menjadi orang-orang ulet. Di masa penderitaan itu lahir salah seorang putra Kaneyan yang menjadi terkenal, yakni Alexander Marentek, anak seorang penatua yang juga menjadi korban pembunuhan Jepang di tahun 1942. Marentek adalah diplomat yang pernah menjadi Konsul Jenderal di Davao Filipina dan Amerika Serikat, terakhir sebagai Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri hingga meninggal dalam kecelakaan heli di Bedugul Bali akhir Juni 1978. Ia dimakamkan di TMP Kalibata dan dianugerahi gelar dutabesar anumerta.

Donderdag 23 Mei 2013

Opo Minahasa


Dalam tradisi Asia, para manusia yang suci moksa ke alam roh dan di situ Ia menjadi wujud rohani yang dipuja dan disembah. Sebagai contoh Sidharta Gautama di India menjadi Budha, Yesus Kristus di Timur Tengah menjadi Juru Selamat, dan di Cina banyak sekali manusia yang menjadi Dewa. Dan Dalam Kepercayaan Minahasa sendiri yang bukan agama samawi, artinya agama suku yaitu Shamanisme yang dipimpin oleh Walian dan Tonaas sebagai pemimpin perang, agama Shamanisme masih dipegang teguh secara terang-terangan di Mongolia sampai sekarang.
Berdasarkan itu maka Opo pertama adalah Lumimuut, ibu yang tersesat jalannya dalam pelayarannya dari utara menurut mitos dari Mongolia.
Dengan Mengacu pada mitologi itu, maka dapat dilihat, bahwa kata Opo, berkaitan dengan bahasa Cina ‘Po’.
Dalam bahasa Cina, ‘Po’ dapat ditulis dalam dua aksara, yaitu ‘Po’ yang berarti jiwa opo minahasa yaitu, dan yang berarti Nenek Moyang perempuan yaitu opo-opo. Ini Dikaitkan dengan nama Lumimuut, yaitu Opo awal pitarah Minahasa, tercatat banyak sekali Opo yang masing – masing memiliki Tugas khusus dalam mengatur manusia. Para Opo tersebut adalah:
1. Aluk, opo yang bisa melenyapkan manusia
2. Kalangi, opo angin yang membuat badai di laut
3. Kaluilan, opo kesehatan yang menguasai obat
4. Kambong, opo awan yang membuat hujan
5. Kaneneng, opo keperkasaan
6. Kariso, opo api
7. Kasueyan, opo padi
8. Kemboleng, opo angkasa
9. Kiongkiong, opo burung besar
10. Kopalit, opo perdamaian
11. Lumenta, opo udara
12. Limbawa, opo pelangi
13. Lumimuut, opo pertama (tanah, bumi)
14. Makalewai, opo angin barat
15. Makalawang, opo bumi
16. Makawulur, opo segala gunung
17. Manampiring, opo kecendikiaan
18. Mandey, opo peladang
19. Manembo, opo yang melihat tembus menjaga gunung
20. Manarinsing, opo angin selatan
21. Mapataris, opo yang mengalahkan kejahatan
22. Marendor, opo pengutus
23. Mioyo, opo bawah tanah
24. Monsuling, opo music
25. Muntuuntu, opo tertinggi
26. Nileyleyan, opo hulubalang
27. Pangerapan, opo cahaya
28. Panuluan, opo sinar bulan
29. Pongilatan, opo halilintar
30. Rameikahu, opo padi emas
31. Rorot, opo ketangkasan
32. Sankiou, opo kecantikan
33. Seratou, opo pemakan manusia
34. Sosowela, opo keselamatan
35. Tangkokow, opo seni suara
36. Tongkoakan, opo kemuliaan
37. Tumorongkang, opo berkah
38. Tundoon, opo pelindung tanah air
39. Walintukan, opo penentu taufan
40. Watuseke, opo perang
Opo Empung Wangko sebutan lain Tuhan yang merajai semua Roh dan Opo telah menciptakan Opo baik dan Opo jahat dan para keturunan Toar-Lumimuut dapat memilih sesuai nurani mau jadi pengikut yang mana.
Salain Opo diatas masih ada juga Opo yang menjadi pesuruh atau anak buah para Opo seperti Opo Siouw Kurur, Dia adalah salah satu dari 3 penasihat Opo Muntuuntu jaman pertamanya hidup orang Minahasa, mengemban tugas sebagai penasihat, Kurir sampai tukang Raghes (algojo pemotong kepala). Karena badannya tinggi besar dan sanggup berjalan sangat cepat dijuluki ‘opo sembilan lutut’.
Selain itu masih ada yang dibilang Opo berdasarkan fam atau Opo yang hidup pada jaman Belanda dan Permesta.
Pada tahun 1550 Spanyol telah mendirikan benteng di Wenang dengan cara menipu Kepala Walak Lolong Lasut menggunakan kulit sapi dari Benggala India yang dibawa Portugis ke Minahasa. Tanah seluas kulit sapi yang dimaksud spanyol adalah tanah seluas tali yang dibuat dari kulit sapi itu. Spanyol kemudian menggunakan orang Mongodouw untuk menduduki benteng Portugis di Amurang pada tahun 1550-an sehingga akhirnya Spanyol dapat menduduki Minahasa. Dan Opo Lolong Lasut punya anak buah Opo Burik Muda si penggemar adu ayam.
Berikut Opo Don-dokambey dari Tonsea ke Watu Pinabetengan dengan menunggang kuda belang (bata-bata).
Namun para Walian dan Tonaas yang berilmu tinggi tidak memanggil Opo yang berdasarkan fam, namun ke 40 Opo utama.
Untuk memanggil Opo ada caranya dan cara tersebut memang dirahasiakan dan hanya diwariskan secara turun temurun. Dan supaya Opo sebenarnya yang datang haruslah mempunyai segel atau kunci hanya para Walian dan Tonaas saja yang tau.
Berikut perlengkapan yang biasa dipakai untuk memanggil Opo beserta opo-opo (benda pemberian dari Opo)
Untuk cara memanggil para Opo saya tidak bisa beritahu, karena saya sendiri belum tahu caranya ada yang bisa beritahu caranya? maklum saya memang masih pemula, dalam Ilmu Shaman ini.
Opo hanya akan memberikan kekuatanya spesial dan paling tinggi kepada poyo mereka.

Woensdag 22 Mei 2013

Lesung Batu Tonsawang

Lesung batu kebanyakan ditemukan di Minahasa bagian selatan. Beberapa diantaranya tersebar di kecamatan Touluaan, wilayah anak suku Tonsawang. Fungsi utamanya adalah sebagai wadah penumbuk padi atau penghancur biji-bijian. Hal ini terkait dengan wilayah tersebut yang dikenal sebagai salah satu sentra lumbung padi sejak ratusan tahun lalu. Ada Informasi lain yang menyebutkan bahwa lesung batu juga digunakan sebagai wadah untuk menghancurkan batu yang memiliki kandungan emas, sebelum diolah menjadi emas.
Disamping fungsi utamanya tadi, keberadaan lesung batu oleh sebagian pemerhati budaya digunakan sebagai portal untuk berkomunikasi dengan leluhur mereka.
Saat ini lokasi tempat lesung batu dijadikan salah satu objek wisata sejarah dan budaya. Salah satunya bisa ditemukan di desa Kali, kecamatan Touluaan. Lesung batu ini dikenal dengan nama Lesung Nawo Oki karena erat dengan legenda Raja/Nawo Oki. Situs lesung batu yang berada di desa kali ini telah dipugar beberapa tahun lalu oleh pemkab Minahasa Selatan. Tetapi sejak pemekaran wilayah, situs lesung batu desa Kali kini menjadi milik pemkab Minahasa Tenggara. Sayangnya keberadaan situs lesung batu saat ini tidak dikelola dengan baik. Akses jalan menuju situs sudah rusak dan ditumbuhi belukar. Ditambah lagi dengan penolakan beberapa pemuda kampung desa Kali yang tidak tahu menghargai warisan budaya leluhur. Mereka menolak adanya kegiatan kebudayaan yang dilaksanakan di lesung batu tersebut. Padahal eksotisme kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut bisa menjadi daya tarik pariwisata yang bisa membantu perekonomian desa Kali.

Dinsdag 14 Mei 2013

Tinoor mata air HULU TAMBULENAS


Di suatu lembah dataran tinggi yang di apit oleh tiga gunung yaitu gunung Lokon, Tatawiran dan Kasehe. Konon di sana berdiam satu keluarga yang menjadi legenda orang Minahasa yaitu keluarga Toar - Lumimuut.

Di lembah inilah Toar dan Lumimuut membangun keluarga dan mendapat keturunan lima orang anak, dua orang laki - laki masing - masing di beri nama :

MUNTU UNTU dan SOPUTAN, serta tiga orang perempuan masing - masing di beri nama : RUMINTUUNAN, PARIWUAN dan LILIUNKANBENE (LINKANBENE).

Setelah anak - anak dari TOAR - LUMIMUUT menjadi dewasa maka mereka pun membentuk keluarga di mana MUNTU UNTU mengambil RUMINTUUNAN sebagai istrinya dan SOPUTAN mengambil PARIWUAN sebagai istrinya pula. Maka tinggalah LINKANBENE sendiri bersama orang tuanya.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari - hari, keluarga TOAR - LUMIMUUT sudah mengetahui perlunya garam sehingga secara rutin mereka ke pantai laut untuk mengambil garam yang disebut "mangasin". Namun, setelah MUNTU UNTU dan SOPUTAN membentuk keluarga maka LINKANBENE-lah yang di panggil oleh TOAR untuk menjadi teman mengambil garam.

Pada suatu waktu, TOAR dan LINKANBENE pergi mangambil garam. Dalam perjalan ke pantai bagian utara disebuah lembah lerang gunung Empung, mereka menjumpai sebuah telaga kecil yang setelah di amati ternyata telaga kecil itu merupakan sumber mata air. Telaga kecil itu berukuran ±10 m dengan kedalaman ± 1m. Airnya sangat sejuk dan bersih di lindungi pepohonan yang rindang. Oleh sebab itulah LINKANBENE memberi nama telaga kecil itu dengan "TAMBULE'NAS" yang artinya Telaga Bersih. Selanjutnya, setiap kali pulang mangasin, mereka beristirahat dan mandi di telaga kecil itu yang di kenal dengan mata air Tambulenas. Kemudian hari mata air hulu Tambule'nas inilah yang menjadi pokok ceritera adanya kampung TINOOR.

________________________________________
LINKANBENE DI PINANG

Setiap kali Toar dan Linkanbene tiba di pantai untuk membuat garam, mereka berkemah untuk beberapa hari lamanya. Pantai itu sekarang di kenal dengan pantai Malalayang.

Disuatu hari di waktu mereka sedang membuat garam, di pantai sebelah Timur yang sekarang di kenal dengan pantai pelabuhan Manado sedang berlabuh kapal asing. Hal ini tidak di ketahui oleh mereka. Kapal asing itu sedang membawa para ahli ke lautan yang sedang melakukan penelitian dan penyelidikan tentang laut dan pulau - pulau. Pada waktu mereka mendarat mereka melihat ada asap di pantai sebelah barat.

Pemimpin mereka berpesan, bilamana di tempat itu ada orang mereka jangan menampakkan diri. Ternyata ditempat di mana asap itu terlihat kedua orang asing itu melihat ada dua orang yang sedang bekerja, yang seorang laki - laki tua sedangkan yang seorang perempuan masih muda dan cantik. Setelah mereka merasa cukup dalam pengintaian, mereka langsung kembali lalu melaporkan kepada pemimpin mereka apa yang mereka lihat dan saksikan dalam pengintaian mereka.

Setelah itu orang - orang asing itu berlayar kembali melanjutkan penelitian dan penyelidikan di laut. Sedangkan Toar dan Linkanbene tidak mengetahui apa yang terjadi di sekitar mereka. Setelah selesai membuat garam, mereka pulang dan untuk beberapa waktu lagi baru mereka kembali di pantai.

Selang beberapa hari kemudian kapal asing itu kembali berlabuh di tempat mereka berlabuh waktu lalu. Bertepatan waktu itu pula Toar dan Linkanbene sedang membuat garam. Kembali orang - orang asing itu melihat asap di tempat lalu. Oleh pemimpin merka kembali memerintahkan kedua anak buahnya yang pernah melaksanakan pengintaian untuk pergi mengintai sumber asap itu apakah ada orang yang membuat api adalah orang - orang yang mereka lihat dahulu.

Pemimpin mereka berpesan, kalau sekiranya orang di tempat itu adalah orang yang mereka lihat dahulu, maka mereka harus mengawasinya dengan tidak menampakkan diri dan bilamana orang yang di awasi itu pulang mereka harus mengikutinya dari belakang. Dan bila telah sampai ke tempat tinggal mereka barulah bolh menampakkan diri. Setelah itu barulah kamu menyampaikan maksudnya. Demikianlah kedua utusan itu melaksanakan perintah pemimpin mereka. Ternyata sesampainya mereka di tempat sumber asap itu mereka melihat kalau orang yang mereka lihat adalah orang yang dahulu mereka lihat yaitu Toar dan Linkanbene. Mereka langsung bersembunyi sambil mengawasinya.

Setelah Toar dan Linkanbene selesai membuat garam maka mereka langsung kembali pulang. Melihat orang yang di awasi telah kembali pulang maka kedua pengintai itu langsung mengikuti mereka dari belakang secara diam - diam sampai ke tempat kediaman Toar dan keluarganya.

Setelah tiba barulah kedua orang asing itu menampakkan diri mereka dan menyapa kepada keluarga Toar - Lumimuut. Begitu terkejut dan takutnya keluarga Toar - Lumimuut mendengar sapaan itu karena mereka tidak menyangka kalau yang menyapa mereka adalah orang - orang asing apalagi berkulit putih. Sebaliknya orang - orang asing itu menunjukkan sikap dan perangai yang baik, tenang dan bersahabat sehingga pada akhirnya mereka dapat menerima kehadiran orang - orang asing itu. Setelah suasana kekeluargaan tercipta maka dengan memakai bahasa isyarat orang - orang asing itupun menyampaikan maksud mereka yaitu untuk menyampaikan pesan dan maksud pemimpin mereka bahwa pemimpin mereka mau meminang anak gadis cantik mereka untuk dijadikan istri. Sungguh pun hanya berkomunikasi dengan bahasa isyarat namun telah tercipta suatu pengertian bersama yang mendalam. Karena keluarga Toar - Lumimuut dapat menerima dengan baik maksud orang - orang asing itu.

Setelah ada penyesuaian dan kesepakatan bersama maka orang - orang asing itupun memohon permisi untuk kembali. Dan sesampainya mereaka ditempat kapal berlabuh, mereka langsung melaporkan kepada pemimpin mereka untuk menjadikan anak gadis cantik itu isterinya sudah di sampaikan dan baginya lamaran peminangan itu di terima oleh keluarga anak gadis cantik itu. Dengan menerima laporan bahwa pinangannya di terima, maka pemimpin orang- orang asing itu memerintahkan anak buahnya untuk berlayar kembali bukan untuk melanjutkan penelitinan dan penyelidikan tetapi berlayar kembali pulang ke negeri mereka. Menurut ceretera orang - orang tua bahwa orang asing itu berasal dari bangsa Italia.

Selang beberapa bulan kemudian orang - orang asing ini kembali lagi. Kedatangan mereka untuk menindak lanjuti kesepakatan yang telah tercipta. Maka datanglah pemimpin dan kedua orang asing itu ke tempat kediaman keluarga Toar - Lumimuut. Begitu mereka sampai dan disambut oleh keluarga Toar - Lumimuut dengan baik, maka secara resmi pemimpin orang asing itu meminang Linkenbene untuk menjadi isterinya. Pemimpin orang asing itu memperkenalkan diri dengan bernama : ARUMZ CRITO. Maka atas persetujuan kedua belah pihak pemimpin orang asing itu dapat tinggal bersama keluarga Toar - Lumimuut dan mulai saat itu ARUMZ CRITO dan LINKANBENE hidup sebagai suami isteri.

Untuk di ketahui bahwa makanan mereka sehari - hari adalah buah kayu Mahwatu yang di makan dengan garam.

Pada suatu hari suami Linkanbene mohon izin kepada isterinya untuk pergi ke negerinya untuk melihat orang tua dan saudaranya. Sekembalinya dari negerinya Arumz Crito tidak lagi kemana - mana tapi tetap tinggal bersama isterinya Linkanbene sehingga mereka mendapat seorang anak perempuan yang diberi nama : LUMEN LUNA. Yang artinya cantik seperti cahaya bulan purnama. Konon, Kolano Masahiri adalah cece dari Linkanbene.


________________________________________
KOLANO MASAHIRI

Pada tahun 1680 orang - orang yang di sebut orang sumonder mulai mengenal "Mangasin" - membuat garam di pantai. Ada yang ke pantai barat (Amurang), ada pula yang ke pantai utara (Manado). Di masa itu kalau bepergian orang - orang harus berjalan berkelompok. Sebab harus melalui hutan lebat dan banyak rintangan yang dapat menghalangi perjalanan. Dalam perjalanan mereka harus membawa bekal disamping senjata yang berupa "Pisou lambot" ( parang panjang) bersama Wengkou (Tombak).

Di antara orang - orang yang berjalan menuju utara (pantai manado) ada dua orang laki - laki yang selalu berjalan bersama dengan membawa bekal masing - masing dam membawa alat senjata berupa "Sondang" (parang pendek) dan di sertai dengan "Simbel / woka" (payung) yang di jepit di dalam ketiak.

Semua orang yang menuju pantai utara (manado) maupun yang ke selatan hanya dapat melalui satu jalan dengan melewati kampong Lota. Di kampung ini berkependudukan kepemerintahan yang kepala kepemerintahan di sebut "Kolano". Adalah Kolano waktu itu bernama Kolano Masahiri. Rumahnya besar dan tinggi melintang selebar jalan. Dengan demikian kolong rumah menjadi pintu gerbang di mana semua orang harus melewatinya. Di situ ada orang jaga atau pengawal, sedangkan dari atas rumah Kolano Masahiri mengawasi orang - orang yang lalu lalang sambil menilai yang lewat. Yang sangat mengherankan Kolano Masahiri adalah kedua laki - laki yang selalu bberjlan bersama dan terpisah jauh dari kelompok - kelompok besar serta hanya membawa sondang dan simbel.

Sehingga dalam pikirannya mengapa kalau yang lain berjalan berkelompok sedangkan dua orang ini hanya berjalan berdua saja. Dan ternyata bukan baru sekali dua saja ia melihatnya tapi sudah seringkali dan kelihatannya mereka tidak takut.

________________________________________
WILAYAH KEKUASAAN KOLANO MASAHIRI DI ANCAM BAHAYA

Pada suatu hari Kolano Masahiri di datangi oleh empat orang pesuruh dari empat penjuru musuh - musuhnya di mana keempat pesuruh itu itu menyampaikan bahwa ke empat musuh - musuhnya mau menyerang wilayah kekuasaannya. Setelah Kolano Masahiri mendengar penyampaian itu maka ia merasa takut dan kecewa. Pada saat itu Kolano Masahiri teringat kepada kedua laki - laki yang sering dilihatnya lewat di rumahnya. Pikirnya tentunya kedua orang itu bukan orang sembarangan. Lalu Kolano Masahiri memerintahkan kepada pengawal yang berada di kolong rumahnya : "Kalau kedua orang laki - laki yang sering lewat di sini tiba mereka harus di tahan dan suruh mereka menghadap saya". Beberapa hari kemudian kelompok - kelompok orang mangasin tiba. Mereka di tahan oleh pengawal - pengawal serarya menanyakan kalau - kalau mereka mengetahui keberadaan kedua laki - laki yang selalu berjalan di belakang. Mereka menjawab kalau kedua orang itu masih di belakang, mungkin besok atau lusa mereka akan tiba. Mendengar jawaban itu maka para pengawal meningkatkan kesiagaan mereka sebab mereka takut jangan sampai mereka tidak melihat mereka bila mereka tiba.

Beberapa hari kemudian pengawal - pengawal melihat dari kejauhan kedatangan kedua orang laki - laki itu. Mereka memastikan bahwa orang yang mereka lihat itu aalah kedua orang laki - laki yang di maksud. Dan benar, bahwa setelah kedua orang laki - laki itu tiba mereka langsung di tahan oleh para pengawal lalu menyuruh mereka menghadap Kolano Masahiri. Mereka cemas dan takut karena mereka tidak tahu apa kesalahan mereka. Setelah mereka berhadapan dengan Kolano Masahiri, maka Kolano Masahiri langsung bertanya kepada mereka : siapa nama mereka, mau ke mana dan maksud apa, di mana langsung di jawab ; bahwa, mereka berdua adalah baku ipar; saya bernama Lumincewas dan ini bernama Rantung. Kami berasal dari Tolok mau ke pantai untuk mangasin.

Selesai perkenalan maka terjadilah percakapan yang akrab penuh rasa kekeluargaan sehingga kecemasan dan ketakutan mereka hilang. Setelah itu Kolano Masahiri menceritakan maksudnya kepada mereka bahwa ada ancaman dari ke empat penjuru di mana telah datang empat pesuruh dari ke empat penjuru musuh - musuhnya dengan memberitahukan bahwa mereka akan menyerang wilayah kekuasaannya dari ke empat penjuru. Oleh sebab itu Kolano Masahiri mau minta tolong sekalipun baru saja berkenalan. Maka kedua laki - laki itu menjawab nanti kalau kami kembali dari mangasin kami akan singgah lagi di sini.

________________________________________
KEAJAIBAN MEMBAWA PERDAMAIAN

Setelah Lumincewas dan Rantung mengetahui maksud Kolano Masaahiri menahan mereaka, maka mereka mohon diri untuk melanjutkan perjalanan. Setelah selesai mangasin mereka pulang dan singgah di rumah Kolano Masahir. Mereka menghadap Kolano Masahiri dengan memohon agar Kolano masahiri dapat menyediakan 30 orang laki - laki yang terpilih kuat dan berani. Namun, kami kau pulang dulu ke kampong (Tolok) tapi kami akan kembali dalam waktu singkat.

Beberapa hari kemudian keempat pesuruh muncul lagi dan memberitahukan tentang waktu akan di mulainya penyerangan. Menerima berita itu Kolano Masahiri sangat takut dan kecewa apalagi kedua orang yang mau menolongnya yaitu Lumincewas dan Rantung belum juga datang. Lalu Kolano Masahiri perintahkan kepada pengawal agar bila orang - orang yang mangasin hendak pulang ke kampungnya, sampaikan pesanan untuk Lumincewas dan Rantung agar segera datang.

Setelah pesanan itu di terima oleh Lumincewas dan Rantung, maka mereka berdua langsung berangkat. Setibanya di Lota mereka melihat bahwa permintaan mereka sudah siap yaitu 30 orang laki - laki terpilih berani dan kuat lengkap dengan peralatan perangnya. Setelah selesai melapor kepada Kolano Masahiri, maka Lumincewas dan Rantung langsung memanggil ke-30 orang yang sudah siap itu menuju ke tempat tertentu. Mereka menuju ke empat penjuru dari kekuasaan Kolano Masahiri. Di setiap penjuru di tempatkan orang, maka mereka kembali ke rumah kediaman Kolano Masahiri.

Pada keesokan harinya sementara menanti apa yang akan terjadi, mereka melihat orang - orang yang di tempatkan di keempat penjuru itu secara bersamaan tiba di rumah Kolano Masahiri denga wajah tersenyum dan gembira. Kemudian secara bersama pula mereka melaporkan apa yang mereka saksikan. Mereka menceritakan bahwa pada mulanya mereka sangat ketakutan melihat musuh yang sangat banyak itu lengkap dengan peralatan perangnya.

Namun, keajaiban terjadi karena semua musuh yang datang itu tidak bisa melewati batas wilayah Kolano Masahiri. Mereka hanya dapat berbuat lalu lalang, mondar mandir di luar batas sampai akhirnya mereka kembali ke tempatnya masing - masing dengan tanpa berbuat apa - apa. Dengan demikian selamatlah wilayah kekuasaan Kolano Masahiri. Hal ini dapat terjadi karena semua penjuru kekuasaan Kolano Masahiri telah ditanami oleh Lumincewas dan Rantung dengan pohon "Tu'is". Pohon tu'is dapatahkan ( di peku).

Dengan kejadian itu maka dalam tempo yang singkat ke empat kepala suku yang mau menyerang wilayah kekuasaan dari Kolano Masahiri datang menemui Kolano Mashiri untuk mengadakan perdamaian. Dengan terciptanya perdamaian itu maka Lumincewas dan Rantung mohon diri kepada Kolano Masahiri untuk pulang ke kampong mereka yaitu Tolok.

________________________________________
KAMPUNG TINOOR BERDIRI (KAMPUNG LAMA)

Hari - hari berikutnya Lumincewas dan Rantung melaksanakan pekerjaan mereka termasuk pula pergi mangasin. Pada suatu hari, waktu mereka lewat di rumahnya Kolano Masahiri, mereka di panggil oleh Kolano Masahiri. Mereka di bujuk untuk menjadi penjaga pintu gerbang - orang tua - tua dulu mengenalnya dengan "Pintu Besi". Ini di sebabkan karena seringkali orang Mangindanou datang merampok di wilayah kekuasaan Kolano Masahiri.

Permintaan ini di terima oleh Lumincewas dan Rantung dengan syarata bahwa pada hari - hari tertentu mereka harus pulang ke kampong untuk melihat keluarga. Selanjutnya, dari hari ke hari lama - lama Lumincewas dan Rantung tinggal sesekali saja datang ke Lota. Hal ini lama - lama di ketahui oleh Kolano Masahiri sehingga Kolano Masahiri kembali membujuk mereka dengan suatu tugas baru yaitu untuk menjaga mata air tempat mandinya Kolano Masahiri. Karena Kolano Masahiri tidak mau mandi di air yang sudah jauh mengalir. Lumincewas dan Rantung kembali menerima tugas itu. Dan mata air yang harus mereka jaga itu adalah mata air hulu Tambulenas. Namun, Lumincewas dan Rantung merasa sangat kesepian karena di waktu itu mata air hulu Tambulenas masih berupa hutan lebat. Oleh sebab itulah maka pada suatu hari Lumincewas menyuruh Rantung untuk memanggil orang - orang di selatan sedangkan Lumincewas sendiri akan pergi menghadap Kolano Masahiri.

Lumincewas minta izin kepada Kolano Masahiri untuk menambah orang yang akan menjadi teman mereka menjaga mata air tersebut. Permintaan ini di kabulkan. Demikianlah dengan waktu yang tidak lama Rantung kembali dengan membawa 15 keluarga dan mulai saat itu mereka tidak merasa kesepian malah sudah menjadi jarang kembali ke kampung. Dengan demikian maka Lumincewas merencanakan untuk mendirikan rumah tempat kediamannya. Setelah hari yang di tetapkan tiba, maka Lumincewas meletakkan batu pertama dengan berkata : " YAKU YA TUMO'ORO IM BALE PAENTO ENTO AN KU AM BIA WO YAKU RAIYO MENGAEKO AN DO'ONGKU". (Saya mau mendirikan rumah tempat kediamanku disini supaya saya tidak lagi kembali ke kampungku). Selesai Lumincewas mendirikan rumah tempat kediamannya, maka ia memanggil Apo Rompas untuk mendirikan batu tumotowa. Di waktu Apo Rompas mendirikan batu tumotowa, ia berkata : "PA PA EN ESA KE SI NUNUWU (TUMANI) IN DO'ONG, ESA KE KAI SI TUMO'OR IM BATU TUMOTOWA PENGAUMUNGAN E TOU". Ada dua peristiwa yang berlaku masing - masing mengandung pengertian mendirikan. Yaitu "tumo'oro im bale' - mendirikan rumah dan "tumo'or im batu tumotowa" - mendirikan batu tempat berkumpul untuk mendengar pengumuman - yang merupakan latar belakang berdirinya Tinoor.

Mulai saat itu pula maka setiap kali orang sudah mau pergi mangasin mereka harus singgah di rumahnya Lumincewas. Demikian juga orang - orang di kampung - kampung tetangga termasuk Apo Supit dari Woloan datang berkunjung untuk menemui Lumincewas.

________________________________________
LUMINCEWAS DI ANGKAT MENJADI ANAK KOLANO MASAHIRI

Pada suatu hari, Lumincewas di panggil oleh Kolano Masahiri untuk di perhadapkan dengan anak satu - satunya yang bernama : MAINALO. Setelah Lumincewas tiba di rumah Kolano Masahiri maka ia langsung di pertemukan dengan Mailano. Setelah Mailano dan Lumincewas sudah saling berhadapan maka Kolano Masahiri berkata : " Hai anakku Mailano, mulai hari ini saya angkat Lumincewas menjadi anakku dan berhubung dia lebih tua darimu maka dia adalah kakakmu !. Mailano sangat gembira dan berkata bahwa mulai saat ini juga saya mempunyai saudara/kakak .

Dengan demikian maka mulai pada saat itu juga Kolano Masahiri menggantikan nama mereka masing - masing, yaitu :
# Lumincewas menjadi PURUK artinya di atas atau di ujung ; yang kemudian menjadi Purukan.
# Mainalo menjadi Parungkuan artinya di sembah yang kemudian menjadi Parengkuan.
# Rantung menjadi PA'KEI artinya kalau di suruh kerja langsung di kerjakannya tanpa ada keberatan ; kemudian menjadi Pangkey.
Selesai dengan penggantian nama maka PURUK mohon izin pulang ke kampungnya untuk melihat keluarganya.

________________________________________
KOLANO MASAHIRI MENINGGAL DUNIA

Sementara Puruk berada di kampungnya Kolano Masahiri jatuh sakit yang semakin hari semakinlemah dan akhirnya meninggak dunia. Maka Parungkuan menyuruh orang memanggil Puruk. Setelah Puruk menerima berita duka itu, ia tidak langsung pergi atpi masih beberpa hari lagi di kampungnya. Demikian pula setelah Puruk kembali tidak juga langsung ke Lota tapi masih singgah di rumahnya beberapa hari lagi.

Setelah beberapa hari di rumahnya maka Puruk terus berangkat ke Lota. Masih dari kejauhan ternyata Parungkuan sudah melihat Puruk datang maka di jemputnyalah Puruk lalu memberitahukan bahwa ayah mereka sudah meninggal dunia. Namun, Puruk kurang percaya lalu ia bertanya di mana ayah mereka. Parungkuan menjawab bahwa ayah mereka sudah 6 hari meninggal dunia.

Setelah Puruk melihat bahwa benar ayah mereka sudah meninggal, maka ia bertanya lagi kepada Parungkuan : Kenapa belum di kubur sedangkan ayah sudah beberapa hari meninggal dunia. Di jawab oleh Parungkuan bahwa persiapan penguburan belum siap. Lalu Puruk bertanya kalau apa saja yang belum siap yang di jawab oleh Parungkuan dengan "sompoi" / Keranjang. Adalah suatu kebiasaan di zaman dahulu bilamana ada orang yang berpangkat tinggi meninggal dunia maka sebelum ada sompoi ia belum dapat di kubur.

Setelah mendengar itu maka Puruk langsung keluar dan pergi mencari apa yang di sebut sompoi. Tidak berapa lama Puruk sudah kembali dengan membawa sompoi itu, maka acara penguburan pun di siapkan, dan kematiannya di beri tanda ke seluruh wilayah kekuasaan Kolano Masahiri sudah meninggal dunia dengan membunyikan alat bunyi - bunyian yang di sebut "sepera".

Setelah tetangga - tetangga dari wilayah kekuasaan Kolano Masahiri mendengar bunyi sapera itu mereka langsung mengetahui kalau Kolano Masahiri sudah meninggal dunia. Dengan demikian maka mereka langsung berdatangan untuk menghormati pemakamannya. Setelah selesai pemakaman, Puruk kembali ke kediamannya yaitu rumah yang didirikannya di tempat yang sekarang di kenal dengan nama Sempalan.

________________________________________
PEMBAGIAN PUSAKA WARISAN

Tidak begitu lama dari kematiannya Masahiri maka Parungkuan memanggil Puruk. Setibanya Puruk di rumahnya Masahiri, Parungkuan langsung menceritakan maksudnya kepada Puruk bahwa mereka akan membagi pusaka warisan peninggalan ayah mereka. Mendengar maksud adiknya Parungkuan itu maka Puruk menyetujuinya tapi yang membaginya adalah adiknya Parungkuan. Dan pembahagian itu sebagai berikut :

Puruk mendapat bahagian di sebelah selatan kampung Lota yang sekarang menjadi wilayah kepolisian kampung Tinoor sedangkan sisanya menjadi bahagiannya Parungkuan.
Selesai pembagian Puruk mohon diri untuk pulang. Lama kelamaan Puruk melihat sudah banyak orang datang dan tinggal di wilayahnya. Maka untuk menjaga ketentraman oleh Puruk mengatur supaya yang berbahasa Tombulu berdiam di daerah selatan sedangkan yang berbahasa Tountemboan di bagian utara. Demikian pula dengan kepemerintahan menjadi dua menurut bahasanya masing - masing.

________________________________________
PA ASUN E SUMONDER

Mata air yang di sebut dengan Pa Asun e Sumonder (tempat timba air orang - orang yang berbahasa Tountemboan) mempunyai keunikan sendiri. Dengan pembagian wilayah maka pada suatu waktu terjadilah kesalahpahaman dikalangan pemuda di mana pemuda Tombulu tidak mengizinkan lagi orang Sumonder (Tountemboan) menimba air di mata air Tambulenas. Oleh sebab itu orang tua - tua Tontemboan di bawah pimpinan Tonaas Puruk dan Pa'kei mengadakan musyawarah bagaimana mereka mencari air karena orang Tontemboan tidak mau mengadakan kerusuhan apalagi berkelahi. Selesai musyawarah maka Tonaas Puruk memanggil beberapa tua- tua untuk bersama - sama dengannya mencari air. Mereka berjalan menjuju ke Timur sekitar 150 meter dari pertigaan dan disana mereka berhenti lalu memohon kepada Opo Wangko Kasuruan kiranya mereka boleh mendapat air bersih. Selesai mereka bermohon maka Tonaas melihat sudah ada tempat yang basah sebagai tanda adanya air. Mereka langsung membersihkan tempat itu dan ternyata air keluar lalu mengalir. Mereka membuat pancuran dan ternyata air yang mengalir sebesar ibu jari orang dewasa. Mulai saat itu maka orang Sumonder mempunyai sumber air bersih malah sampai sekarang mata air itu disebut sabagai "pa asun e sumonder". Keunikan mata air ini adalah di musim kemarau sungguh pun panjang mata air ini tidak prnah kering atau mengecil dan di musim hujan tidak menjadi banyak, tetapi airnya tetap terus menerus seperti besarnya ibu jari orang dewasa.

________________________________________

KAMPUNG TINOOR LAMA DISAHKAN PEMERINTAH

Pada tahu 1775 kampung Tinoor lama di sahkan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan satu pemerintahan dan satu Hukum Tua saja.
Tahun 1780 Puruk dan Pa'kei pergi ke selatan memanggil orang di sana dan yang datang sebanyak 75 kepala keluarga ; kemudian pada tahun 1783 dotu Palar datang dengan membawa 70 kepala keluarga.

________________________________________
DI LANDA BENCANA

Dalam ketenangan tiba - tiba bumi bergetar karena letusan gunung Lokon pada tahun 1841. Ketakutan menguasai seluruh rakyat sehingga mereka terpaksa harus menyelamatkan diri. Ada yang mengungsi sampai ke Mokupa bahkan ada yang ke selatan termasuk keluarga Puruk (Purukan). Khususnya keluarga Purukan mereka ke kampung Lompat kenudia terpencar ke Pontak, Poopo dan Tawaang.
________________________________________
KAMPUNG TINOOR BARU

Pada tahun 1840 gunung Empung pecah. Namun orang - orang tidak lagi mengungsi. Karena pada waktu itu Opo Puruk sudah mendapatkan tempat baru dan baik untuk di tempati serta di jadikan kampung. Dan tempat itulah yang di jadikan kampung baru yaitu kampung Tinoor yang sekarang ini. Tinoor baru ini di sahkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1845.

________________________________________
MATA AIR LALALESAN DAN PASUWENGAN

Mata air Lalalesan dan Pasuwengen keduanya terletak di sebelah Selatan kampung Tinoor dua. Mengapa disebut Lalalesan dan Pasuwengen? Inilah ceriteranya.
Di suatu hari ada beberapa orang pergi menimba air namun mereka pulang dengan berlari ketakutan karena ada orang yang mau menangkap mereka. Apalagi bagi kaum perempuan. Diadakanlah penyelidikan oleh orang tua - tua dan ternyata memang benar. Maka bersatulah seluruh orang laki - laki untuk menjaga mata airnya. Waktu itu di bagian selatan mata air banyak ditumbuhui pohon pinang. Dikala semua orang laki - laki dalam kesiapan tinggi mereka melihat adanya orang asing yang datang kemudian "lumales" (memanjat) pohon pinang lalu bersembunyi di ujung pohon pinang. Yang memanjat pohon pinang itu kira - kira 10 orang sedangkan yang lainnya bersembunyi di bawah menunggu orang yang datang mengambil air.
Namun rakyat sudah di peringati oleh orang tua - tua kalau hari itu jangan ada orang yang pergi menimba air karena ada tanda yang tidak baik yang di dengar mereka melalui tanda burung manguni. Demikianlah maka orang laki - laki yang sudah siap itu dapat bebas bergerak sehingga dalam waktu singkat mereka dapat mengepung orang - orang asing itu. Maka terjadilah perkelahian yang hebat antara orang asing (penjahat) dengan orang laki - laki di kampung ini. Ternyata banyak orang asing itu yang korban sehingga ada yang berusaha menyelamatkan diri sungguh pun sudah luka parah. Yang melarikan diri sungguh pun sudah luka parah mereka membuka baju lalu meninggalkan baju mereka itu, demikianpun yang korban mati mereka tidak dapat membawanya. Setelah keadaan aman maka penduduk menguburkan orang yang mati dan mengumpulkan pakaian yang di tinggalakan. Pakaian yang di kumpul itu kemudian dibakar di dekat mata air yang disebut Pasuwengen.
Ini terjadi di antara tahun 1840 dan 1845.
Ò Lalalesan dari kata Lalesen artinya panjat.
Ò Pasuwengen dari kata Suweng artinya baunya pakaian yang penuh darah dibakar.

________________________________________
TINOOR DI MEKARKAN

Pada tahun 1985 tepatnya tanggal 22 Pebruari 1985, desa Tinoor dimekarkan menjadi dua desa yaitu desa Tinoor Satu dan desa Tinoor Dua dengan masing - masing punya pemerintahan sendiri. Hukum tua Tinoor Satu adalah bapak Simon P. Purukan sedangkan Hukum tua Tinoor Dua adalah bapak Yan A. Lalawi (pejabat).

________________________________________
GUNUNG LOKON MELETUS

Pada tanggal 28 Oktober 1991 pukul 09.30 gunung Lokon meletus dan menyemburkan abu kering dan batu kerikil, abu tebal menutupi tiga desa yaitu Tinoor Satu dan Dua, Kinilow dan Kakaskasen bagian utara.
Pada pukul 21.30 letusan menghebat sehingga rakyat menjadi gelisah sehingga ada masyarakat yang mulai mengungsi.
Pukul 22.00 pemerintah menganjurkan dan memerintahkan pengosongan desa. Berarti rakyat harus diungsikan. Dengan demikian maka rakyat Tinoor mulai diungsikan dengan dukungan kendaraan dari pemerintah daerah kemudian di tempatkan pada tempat pengungsian yaitu desa Pineleng. Disana rakyat di tempatkan di gedung BPG, sekolah - sekolah dan malah ada yang di rumah - rumah penduduk, gedung gereja. Ada pula yang langsung ke Kota Manado.
Pada tanggal 8 November 1991 seluruh rakyat Tinoor yang berada di pengungsian di kembalikan ke desa Tinoor Satu dan Tinoor Dua oleh pemerintah daerah.

________________________________________
T R A N S M I G R A S I

Akibat bencana gunung berapi Lokon pada tahun 1991, maka desa Tinoor Satu dan Dua di masukkan dalam rencana transmigrasi oleh pemerintah daerah Karen atermasuk dalam daerah bahaya satu.Rencana pentransmigrasian ini mulai di tindak lanjuti pada tahun 1992. Dan pada tahun 1993 di mulailah pelaksanaan Transmigrasi itu.
Tidak kurang dari Sembilan gelombang pemberangkatan ke tempat transmigrasi yang kemudian di kenal dengan Unit Pemukiman Transmigrasi Pusian - Ikarat. Selama kurun waktu bulan Januari sampai dengan Juni 1993. Pemberangkatan gelombang pertama pada tanggal 6 Januari 1993 dan terakhir gelombang ke Sembilan pada tanggal 26 Juni 1993. Jumlah keseluruhan rakyat Tinoor Satu dan Dua yang mengikuti transmigrasi ke daerah Bolaang Mongondow adalah sebanyak 250 Kepala Keluarga. Kemudian Unit Pemukiman Transmigrasi Pusian - Ikarat di jadikan desa definitive yaitu "Serasi".

________________________________________
DAFTAR NAMA PARA HUKUM TUA TINOOR

1. Samuel K. purukan / Tonaas
2. Dotu Purukan - Rundeng Purukan
3. Dotu Pangkey - Lumatauw Pangkey
4. Walean Parengkuan
5. Arnolus Warou
6. Gabriel Pangkey
7. Mailensun Rangian
8. Paul Parengkuan
9. Bastian Rambing
10. Efraim Tangkere
11. Rengkung
12. Yan Purukan - 1896
13. Bastian Rangian 1896 - 1899
14. Dirk Pangkey 1900 - 1925
15. Luther Mamangkey 1926 - 1929
16. George Toreh 1930 - 1931
17. Bertus Purukan 1931 - 1937
18. Frans Rindengan 1937 - 1942
19. Bertus Purukan 1942 - 1946
20. Elia Toreh 1947 - 1949
21. Andries Toreh 1950 - 1951
22. Arles Tileng 1951 - 1955
23. Eliezer Purukan 1956 - 1960
24. Andries C. Toreh 1960 - 1962
25. Paulus Lalawi 1962 - 1964
26. Hendrik Rapar 1964 - 1965
27. Andries S. Purukan 1965 - 1966
28. Yantje H. Assa 1967 - 1969
29. Willem J. Rindengan 1970 - 1981
30. Yan M. Purukan 1982 - 1983
31. Simon P. Purukan 1983 - 1989 (Tinoor I)
32. Adrian Lalawi 1985 - 1993 (Tinoor II)
33. Rundeng J. Purukan (Wkl) 1990 - 1991 (Tinoor II)
34. Herman Purukan (Wkl) 1992 - 1994 (Tinoor I)
35. Fredirk R. Pangkey 1993 - (Tinoor II)
36. Nicolaas Mamangkey 1994 - 2000 (Tinoor I)
37. Johny E. Toreh - 2007 (Tinoor I)
38. Jouke Purukan - 2007 (Tinoor II)
39. Ritha Pangkey 2007 - Sekarang (Tinoor I)
40. Deijte Tileng 2007 - Sekarang (Tinoor II)