Pada waktu sekelompok leluhur masyarakat Bantik asal Selatan tumani
dan bermukim di suatu tempat yang bernama Kaho (selokan Tirang) antara
Maumbi dan Kairagi, mereka kemudian pindah ke Pogidon Wenang) dan
selanjutnya bergerak kearah Utara, dan tumani di Singkil, Bailang, Buha,
dan Bengkol. Dalam kelompok ini, terdapat sepasang suami-istri tanpa
memiliki keturunan yang pekerjaannya sehari-hari sebagai Balrian Lramo
(Walian besar=tukang mengobati secara tradisional). Suami bernama
Tolrombiga dan istrinya bernama Hagi. Keduanya sangat terkenal sebagai
ahli pengobatan tradisonal (makatana) apalagi sebagai Biang (bidan yang
menunggui dan mengurus kelahiran seorang bayi) yang terkenal di kalangan
masyarakat Bantik. Bila ada orang yang datang memanggil Hagi untuk
menolong orang melahirkan maka Hagi selalu berkata pada sipemanggil itu:
kembalilah lebih dulu dan nanti disusulnya. Tapi anehnya, Biang Hagi
akan selalu tiba lebih dulu sebelum sipemanggil tiba dirumah orang yang
akan melahirkan itu. Rupanya suami-istri ini mempunyai banyak sahabat sosok halus sebagai penolong dalam menjalankan tugas mereka sebagai Balrian Lramo.
Pada suatu hari, Hagi kelihatan hamil dan datanglah sosok halus kepada Tolrombiga dan meminta agar, bila anaknya lahir agar anak itu diberikan kepada sosok halus
tadi untuk dipeliharanya, sang suami tidak keberatan. Setelah genap
usia kandungan Hagi, lahirlah laki-laki yang hanya tangisnya saja yang
kedengaran tapi bayinya sudah tidak ada lagi, dan mengertilah sang suami
bahwa anaknya sudah dijemput sosok halus tadi. Akan hal Hagi
bila ada orang bertanya mana anaknya maka Hagi menjawab bahwa ia
mengalami keguguran (kinadaen) dan bayinya hilang. Konon bayi itu
dipelihara sosok halus dengan diberi makan jantung pisang tanduk
(sejenis pisang yang buahnya besar-besar, berbentuk tanduk kerbau) oleh
sebab itu jika melihat jantung pisang tersebut, keadaan seperti
dicakar-cakar kuku, kata orang karena dicakar sosok halus tadi bila membuat makanan bayi tadi. Konon kebiasaan orang Bantik bila ingin melihat makhluk halus, carilah pohon pisang tanduk yang jantungnya hampir keluar dan tunggulah dibawah pohon itu. Bila sosok halus datang mengambil makananya, niscaya akan bertemu dengan sosok halus,
asal berani untuk bertemu menemuinya, apalagi berada dibawah pohon itu
dan kedengaranlah tangisan bayi maka pasti akan bertemu dengan sosok halus. Disitulah anda boleh berdialog dengan sosok halus dan boleh memohon atau meminta sesuatu. Sudah tentu sosok halus itu akan mencobai anda lebih dulu setelah anda tahan uji atas cobaan itu barulah pinta anda akan terkabul.
Demikianlah anak itu dipelihara oleh sosok halus
sampai menginjak masa remaja umur 18 tahun, lalu dikembalikan kepada
ibu-bapanya di Buha dan diberi nama Matansing berasal dari kata
Tumansing meloncat tinggi/seperti terbang). Selanjutnya dalam umur 20
tahun, Matansing turut mengambil bagian dalam perang Banten.
Ceritra
rakyat tentang Matansing berlangsung pada tahun 1770-an, dimana
masyarakat Bantik yang mendiami kawasan Benang (Wenang) dipimpin oleh
Kepala Walak Abuthan. Kisah ini terjadi pada jaman kolonialisme Belanda
menguasai tanah Minahasa dan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Tatkala
kepala balak Bantik Abuthan sedang memimpin kelompok masyarakat Bantik
di Wenang, tersiarlah berita bagaimana orang-orang Banten di pulau Jawa
mengangkat senjata melawan Kompeni Belanda.Huru-hara pemberontakan
rakyat Banten sangat menggegerkan Batavia yang waktu itu dipimpin oleh Gubernur-Jenderal Riemsdyk.
Secara
masal rakyat Banten mengangkat senjata dan lakukan serangan atas
pos-pos tentara kolonialisme di Batavia. Pemerintahan Riemsdyk terganggu
karena tentara Belanda jumlahnya sangat kurang dan tidak dapat
mengimbangi perjuangan rakyat Banten. Maka pemerintah Belanda di Batavia
menyurat pada koleganya di Ternate dan Minahasa untuk meminta bantuan
dari warga masyarakat yang ada di sana. Dijejakilah bantuan dari Ternate
dimana di sana juga terdapat sebagian tentara Belanda dan warga
setempat dimana mereka diminta datang berkumpul di Pogidon (Wenang)
untuk kemudian berangkat bersama ke Pulau Jawa dengan armada laut. Di
Minahasa bantuan terutama dikerahkan dari orang-orang Bantik yang
berdomisili di Tomohon dan Tondano. Yang di Tondano dipimpin oleh Tonaas
Sigaha (Sigar) dan di Tomohon dipimpin oleh Tonaas Dotulong. Kepala
balak Abuthan selaku pemimpin masyarakat Bantik di wilayah Wenang,
segera meresponi permintaan kolonial Belanda di Wenang dengan melakukan
plakat di beberapa negeri orang Bantik yang terdapat di: Titiwungen,
Singkil, Bailang, Buha, Bengkol, Talawaan Bantik, Molas, Meras,
Malalayang, dan Bahu. Mereka bersedia dan menyatakan kerelaan untuk
mengambil bagian dalam perang Banten tersebut, yang sebetulnya merupakan
siasat kaum penjajah untuk mengadu-domba masyarakat pribumi.
Tersebutlah
seorang laki-laki bernama Matansing dari negeri Buha datang menghadap
kepala balak Abuthan. Setelah Abuthan bertanya perihal kesanggupan dan
kebolehannya, maka Matansing menjawab: Ia Po ada tumondo Mabukuan galrete be mabei, age nu pai pinakou”
(artinya: kalau saya pergi ke medan laga, selalu kembali dengan
kemenangan dan membawa bukti atas kemenangan itu). Dengan demikian
Matansing salah seorang pendekar Bantik yang akan berangkat ke pulau
Jawa untuk turut berperang membantu Belanda dan bantuan dari Ternate,
Minahasa dan Bantik telah musta’id semuanya berkumpul di Wenang dan
jumlahnya 3000 (tiga ribu) orang pimpinan bala bantuan itu ialah Tonaas
Sigar dan Dotulong yang terkenal sangat pemberani. Pengaturan persiapan
selesai dan pasuka dipersilahkan naik ke kapal untuk berangkat. Selesai
diadakan apel maka berlayarlah kapal-kapal itu dengan haluan pertama
pulau Manado Tua, tiga hari dalam pelayaran dan pada hari keempat,
anehnya..... kapal-kapal itu kembali berlabuh di pelabuhan Wenang.
Setiba di pelabuhan Wenang kepada pasukan ditanyakan oleh nahkoda kapal,
siapakah di antaranya melupakan sesuatu di rumahnya. Masing-masing
segera berdiri dan mengacungkan tangan sambil mengatakan bahwa sayalah
yang melupakan sesuatu itu. Setelah ia melapor untuk pergi sebentar
kerumah, waktu itu masih keadaan pagi jam anak-anak pergi sekolah.
Gaiblah ia, hilang dari pandangan mata mereka. Patut diakui oleh
orang-orang Bantik karena peninggalan riwayat pedangnya pun masih ada di
negeri Bengkol pada cucu, cece, cicit, buyutnya pusaka kesaktian
membuktikan ini. Beberapa lama antaranya pada jam makan siang hampir
tengah hari tiba-tiba bergetarlah kapal yang tadi-tadinya ditumpangi
Matansing yang berada di atas kapal, ditangannya terpegang sebuah
bungkusan Kumunou (daun woka) dan sebuah Lrimpudong (sosiru) lalu
melaporkan pada nahkoda kapal siap sudah ada di tempat, bertanya Kapten
Nahkoda Kapal. Apakah yang kau bawa itu? Jawabnya ini ada tempat makan
pinang. Yang terbungkus daun woka itu, perangkat empat sirih pinang
sebagai biasanya yang dipakai oleh orang Bantik bila akan makan sirih.
Keberadaan kembali Matansing di atas kapal, berarti saat keberangkatan
sudah tiba. Maka berangkatlah armada Belanda dan bala bantuan itu.
Angin
kencang dari belakang menyebabkan layar kapal-kapal itu berkembang
dengan megah. Semalam-malaman, siang dan paginya mereka berlayar dan
tiba di pelabuhan Donggala pagi hari. Kapal-kapal berlabuh untuk
mengambil air minum (air tawar) di darat. Setelah diketahui oleh
Matansing bahwa maksud kapal-kapal itu singgah di pelabuhan Donggala
hanya karena untuk mengambil air tawar, maka turunlah Matansing melalui
tangga kapal dengan membawa nyiru yang dibawanya dari rumah tadi.
Dikoyakkannya bagian dalam nyiru itu dan dicelupkannya bagian kaki dalam
nyiru ajaib itu yang tinggal lingkaran rotan bagian luarnya saja. Maka
terjadilah keanehan di pelabuhan Donggala! Air laut dalam lingkaran
rotan itu menjadi air tawar. Ramailah seluruh petugas kapal menimba air
tawar untuk mengisi tong pada kapal masing-masing, sesuai kebutuhan dari
lingkaran rotan ajaib itu. Pelayaran dilanjutkan beberapa lama, dalam
pelayaran masuklah mereka di pelabuhan Serang (Banten) dengan selamat
dan berkat.
Pada saat itu pelabuhan Banten bergelora sangat
hebatnya sehingga pendaratan dilakukan dengan menggunakan sekoci-sekoci
pendarat. Oleh karena di darat telah berjaga-jaga pasukan Banten, maka
perang besar tak terelakan lagi. Serta merta perang besar terus
berkecamuk dan berkobar sangat hebatnya. Bunyi tembakan, tetakan pedang,
baku potong dan baku bunuh sudah tak terkendalikan lagi. Bagian perang
yang dahsyat berlangsung antara tahun 1775-1780. Bagaimana dengan
Matansing, ia ketinggalan dan masih berada di atas kapal, ia menjadi
gelisah, hilir mudik di atas kapal.
Ia segera mengambil keputusan dengan berdiri siap masuk ke mulut meriam
kapal. Tatkala meriam berdantum dengan arah tembakan kedarat.........
gaiblah pula ia pada saat genting itu. Alkisah menurut cerita ia
melayang bersama peluru meriam tadi, terbang dan jatuh di atas mahligani
istana tempat bersemayam Raja Banten, sesampai di istana Matansing
menjumpai pengawal Raja Banten yaitu tujuh orang laki-laki bermuka
sangat menyeramkan mempunyai anting atau bertopeng seperti babi hutan
besar, jadi Matansing harus berhadapan lebih dulu dengan para pengawal
itu sebelum tiba pada Raja. Pada saat itu melayanglah Matansing ke atas
pohon aren dan duduk di atas pelepahnya hingga bergegerlah bumi karena
tumbangnya pohon itu. Semuanya lalu menjadi gempar. Dari situ ia
melayang ke pohon padi lalu duduk diatas butir buahnya berayun-ayun
bersama tiupan angin. Selesai berayun di atas pohon padi itu sambil
menyenangkan hatinya, melompatlah ia langsung berhadapan dengan ketujuh
pendekar itu dan terjadilah perang satu lawan tujuh dengan seru dan
seramnya. Matansing bertarung sambil melayang kian kemari di udara.
Konon, pada akhirnya tewaslah ketujuh pengawal Raja tadi, terpisah
kepala mereka dari badannya masing-masing.
Matansing segera
menuju kepada Raja Banten didapatinya Raja sedang tidur nyenyak di
tempat peraduannya. Tatkala Raja membuka mata, alangkah terkejutnya Raja
dengan segera Matansing mencabut pedangnya dan tombak diayunkan sekali
tepat kena leher Raja. Maka tewaslah Raja pada saat itu juga. Sebagai
bukti kemenangan oleh Matansing kumis dan janggutnya serta kuku Raja,
dikeratnya dan diambilnya untuk dibawah pulang. Selesai mengambil barang
bukti itu, Matansing gaiblah dari kamar peraduan sang Raja itu. Tiba
diluarnya dilihatnya ternyata perang telah berakhir.
Laskar
Banten kalah dan Belanda menang. Pendekar Sigar diberi pangkat Mayor dan
pendekar Dotulong diberi pangkat Letnan-Kolonel lengkap dengan senjata
dan pakaian kebesaran. Mereka yang masih hidup kembali ke Wenang setelah
menjalankan tugas membantu Belanda berperang dengan Banten. Sebagaimana
kita pelajari dari sejarah, bahwa perang Banten itu di kobarkan oleh
KYAI TAPA dan Ratu Bagus Buang dan diteruskan oleh Sultan Abdul Nazar,
Muhammad Arif, Zainul Asyikin tahun 1752-1780 Adapun cerita Ambon bahwa
yang turut berperang dan mengalahkan Raja Banten adalah Kapitan Jongker
yang namanya termasyur itu.
Kembali tentang Matansing sesampainya
di Wenang ia langsung menghadap Kepala Balak Abuthan dan melaporkan
kemenangannya sambil membawa bukti berupa janggut, kumis, serta kuku
Raja yang dikalahnya sebagaimana yang telah diceritakan tadi. Percayalah
Abuthan atas kebolehan Matansing, ia dibawa oleh Abuthan menghadap
Residen TANROLF. Oleh Residen Tanrolf, Matansing diberi hadiah dan
piagam ditulis atas kertas kulit yang berbunyi: selama penjajahan
Belanda di Minahasa, maka anak-cucu dari keturunannya bebas dari
pungutan uang sekolah kalau mereka bersekolah.
Kemudian Matansing
kembali sebagai petani dan berkebun di antara negeri Singkil dan Buha
(disuatu tempat yang disebut kelapa lima). Sekali peristiwa datanglah
seorang putra Raja Sulawesi Selatan, Bugis bernama anak Raja HASSANUDDIN
menumpang kora-kora bersama anak buahnya. Ia datang memamerkan
ketangkasan, kesaktian dan keajaibannya dan ingin mencari lawan, siapa
kalangan di Utara Sulawesi ini yang sanggup menandinginya. Untuk menguji
kesaktiannya diwujudkan dalam mengadu ayam sabungan. Maka kedatanganlah
berita kedatangan tamu-tamu ini kepada Matansing yang segera ingin
dengan mengadu ayam sabungan lebih dahulu. Ayam sabungan anak Raja Bugis
berbulu hitam berkaki hitam sedangkan ayam jago milik Matansing berbulu
putih sampai kakinya. Persabungan yang seru dimulai dan semua orang
Bantik datang menonton.
Begitu serangan kedua ayam sabungan itu
bersiaga dan akhirnya…….. menanglah ayam sabungan milik Matansing. Putra
Raja dari Sulawesi Selatan berseru: “Ayam sabungannya yang kalah belum
tentu orangnya kalah” Matansing naik dan keduanya menyiapkan diri untuk
bertarung, duel maut satu lawan satu keduanya bermufakat dan tempat yang
akan dijadikan arena laga ialah lembah diantara gunung Bantik dan
gunung Tumpa (Tumumpa). Karena keduanya sama saktinya maka duel maut itu
banyak berlangsung di udara. Sama hebat, sama cerdik, dan sama jago.
Alkisah maka terbanglah Matansing awan gunung Bantik dan putra Raja
Bugis terbang pula dari gunung Tumpa, lalu sesaat kemudian duel udara
yang serupun berlangsung. Pertarungan babak pertama selelsai karena
mereka beristirahat. Kemudian dilanjutkan dengan pergantian tempat. Duel
maut babakan kedua dimulai, Matansing melayang terbang melalui gunung
Tumpa dan lawannya sebagai anak panah lepas dari busurnya melayang dari
gunung Bantik, Matansing yang melihat musuhnya sangat sukar dikalahkan
itu, setiba bertukaran tempat di Tumpa, lalu mengambil tali hutan
(”bahahing”) untuk dibuat jerat. Tali buatan itu dilemparkan Matansing
ke arah musuhnya dan terjeratlah di leher putra Raja itu sekaligus
tergantunglah di udara, maka Matansing mengambil parangnya dan memancung
leher musuhnya.
Badannya jatuh ke Bumi, disusul dengan kepalanya
yang masih terikat dengan tali hutan tadi. Melihat musuhnya telah
kalah, Matansing mengambil mayat musuhnya lalu diterbangkan ke kebunnya
di kelapa lima. Disana mayat itu dikuburkan Matansing lalu ditandai
dengan ditanamkannya di tempat itu lima pohon kelapa, sehingga tempat
itu biasa disebut ”kelapa lima”.
Hingga muat riwayat ini ditulis,
diantaranya negeri Singkil dan Buha terdapat kelapa Matansing (tempat
tersebut disebut kelapa lima) kelapanya memang sudah tidak ada lagi,
tetapi tanah dan bekasnya masih ada. Tahun demi tahun berlalu sampai
Matansing telah berusia tua, ia mulai jatuh sakit di negeri Buha, tetapi
bila ada orang datang menjenguknya, kadangnya tidak diketemukan hanya
tempat tidurnya saja. Lama-kelamaan, pada saat mautnya tiba, hilanglah
ia entah kemana tak diketahui rimbanya. Ia pergi dan tak seorangpun
mengetahuinya. Kata orang, ia kembali ke Kayangan sebagaimana cerita
kita pada bagian-bagian lain, seperti kisah negeri Balruda itu. Pedang
dan tombak milik Matansing, masih ada di negeri Bantik. Demikianlah
riwayat Matansing yang menurut tutur orang ia menjelma menjadi dewa,
sedang tutur orang lain ia menjelma menjadi jin atau makhluk halus.
Untuk lebih melengkapi riwayat tentang Matansing alangkah baiknya kalau
diutarakan pula disini sedikit tentang asal-usul dan siapakah Matansing
yang mengemarakan sejarah anak suku Bantik. (dikisahkan kembali oleh J.
Koapaha, edited Jeldy Tontey)
Dinsdag 30 April 2013
Sondag 28 April 2013
WALE WATU OPO RUMENGAN {SUSURIPEN} DI GUNUNG MAHAWU
Di Tombulu pada jaman Malesung, terdapat sebuah wale watu yaitu tempat tinggal dari leluhur si penguasa di Gunung Mahawu yakni Rumengan beserta keturunannya. Konon sebelum di tempati oleh Rumengan Wale watu atau berupa Goa dari batu tersebut telah di tempati oleh opo Toar dan Lumimuut serta yang membesarkan anak-anak mereka di tempati, dan setelah anak mereka dewasa maka sebagian menyebar di beberapa gunung yang terdapat di seluruh tanah Malesung hingga berketurunan. Toar dan Lumimuut akhirnya memutuskan si Rumengan yang harus menempati Wale Watu tersebut sesuai dengan namanya yang berarti Rengan-Rengaan artinya dia yang teratas atas amanah Toar dan Lumimuut tadi maka jelas Rumengan si penguasa serta yang mengawasi di Gunung Mahawu. Akhirnya atas izin Rumengan opo Tumalun yang di beri kuasa oleh Rumengan ikut mengawasi wilayah hutan di Gunung Mahawu dan sempat mendiami Wale watu atau Goa tersebut dalam waktu cukup lama sampai ia dewasa. Wale Watu atau Goa opo Rumengan ini biasanya di sebut dengan Goa Susuripen artinya Goa yang bila kita masuk akan mendapat berupa ruangan atau kamar-kamar yang ruangannya ada yang besar kecil,dan bahkan pintu masuk ruangan sempit. Wale Watu atau Goa Susuripen tersebut pintu masuk goa cukup besar dan bila memasukinya lama kelamaan mengecil hingga sampai di ujung goa terdapat sebuah meja datar sebagai tempat meletakan Sirih-Pinang isthilanya Mahwetang dalam Bahasa Tombulu atau kebiasaan serupa dalam hal kepentingan adat seperti Upacara Rumages di tempat itu oleh para leluhur secara turun-temurun samapai kepada para Walian maupun Tonaas di jaman sekarang sering mangadakan upacara-upacara tersebut. Sebelum masuk pintu goa dari Wale Watu di sebelah kiri terdapat sebuah batu datar yang biasanya di gunakan tempat balapas {Mahweteng} sebagai tanda minta izin atau di sebut Zumigi dengan maksud balapas terlebih dahulu Sirih-Pinang atau lintingan Tembakau yang dilakukan oleh seorang Tonaas dengan maksud agar dapat di izinkan memasuki goa atau wale watu hingga kembali nantinya tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan . Wale Watu atau Goa Susuripen Opo Rumengan ini diperkirakan panjannya dari mulut goa hingga ke ujung gua sekitar kurang lebih berjarak 500 meter dengan keadaan gelap-gulitadan dinding goa terdiri dari bebatuan sampai ke ujung goa serta di kiri-kana dinding goa terdapat sumber mata air yang jernih yang biasanya sesuai tradisi masyarakat sekitar atau para Tonaas di pakai dalam keperluan pengobatan bagi orang yang sakit dan keperluan lainnya. Konon secara tradisi kepercayaan adat masyarakat sekitar bahwa bilamana memasuki wale watu atau goa susuripen tersebut tidak diperbolehkan rebut karena dapat terjadi hal hal yang tidak di inginkan seperti orang yang melanggar aturan tersebut bisa tidak kembali lagi atau mendapat pengajaran lainnya. Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa sesunguhnya kita dapat menjaga unsur kesucian gua tersebut dan menandakan bahwa tempat tersebut tidak dengan sembarangan masuk tanpa taat terhadap aturan tradisi yang sudah disebutkan tadi . wale watu opo rumengan menurut keterangan warga masyarakat sekitar yang bercocok tanam di dekat area gua bahwa sangat angker dan menurut pengakuan mereka tidak sembarangan orang yang bisa masuk kecuali orang orang tertentu misalnya para tonaas dan pengikutnya dan misalnya dari jaman dulu sering para pelaku adat melakukan pertapahan di gua itu dengan suatu tujuan tertentu . para tonaas di sekitar gua susuripen tersebut biasanya setelah kembali pulang dari gua dengan membawa air dan benda benda lain yang terdapat di dalam untuk dipakai dalam kepentingan adat seperti yang sudah di sebut tadi WALE WATU OPO RUMENGAN atau GUA SUSURIPEN terletak di perkebunan kelurahan talete sekarang tepatnya di lereng gunung mahawu yang merupakan situs cagar budaya adalah warisan para leluhur tou minahasa khususnya di tombulu atau tomohon sekarang yang sangat unik serta sangat potensial bagi kepariwisatawan sulut khususnya minahasa di tomohon karena bila dapat di kelola dengan baik oleh pemerintah dalam hal ini pemkot tomohon akan dapat menarik wisatawan untuk datang mengunjungi yang sudah tentu mendapat pemasukan pendapatan kota tomohon jadi hal ini merupakan salah satu asset kepariwisatawan yang ada di tomohon namun sayangnya kenapa pemerintah setempat sampai saat ini belum dapat mencover atau mendatakan situs tersebut padahal sangat sangat POTENSIAL dan merupakan ASET sejarah tou minahasa khususnya di tombulu yang seharusnya di lestarikan . Wale Watu Opo Rumengan tidak kalah bedah dengan gua maharani yang ada di kabupaten tuban jawa timur yang sangat terkenal, unik dan punya nilai sejarah daerah itu dan benar-benar mendapat perhatian serius pemerintah disana dan sangat menghipnotis para wisatawan datang hanya melihat keindahan gua tersebut. Hal ini benar-benar mendapat pemasukan khas daerah tuban melalui dinas pariwisata dan budaya setiap tahunnya. Jadi kiranya pemerintah dapat mengambil contoh daerah lain seperti yang sudah disebutkan tadi dan bila ini diwujudkan tidak menutup kemungkinan Tomohon lebih dikenal khususnya disektor pariwisata dan menambah pemasukan khas daerah tentu demikian sekilas mengenai Wale Watu Opo Rumengan di gunung mahawu. Semoga kita mendapat hikmah dan berbenah bukan hanya pemerintah tetapi juga kita sebagai masyarakat yang harus ikut berjuang membatu demi kelestarian adat dan budaya Tou Minahasa.
Vrydag 26 April 2013
OPO-OPO
Berikut
tentang ‘opo-opo’ yang kini pengertiannya telah melenceng jauh dari
arti yang sebenarnya, kini istilah opo-opo dianggap oleh sebagian
besar generasi sekarang sebagai suatu perlakuan kerja sama antara
roh-roh jahat dengan setan dari naraka.
Nenek moyang kita meskipun hidup dizaman batu, yang belum tersentuh ajaran agama atau budaya dari luar, tetapi sebagai machluk ciptaan Tuhan, seperti kita keturunannya juga telah dikaruniakan naluri dan kemampuan berpikir, kalau tidak, mana mungkin me-reka sanggup exist hidup dan berkembang hingga turun-temurun sampai abad 21 ini.
Para leluhur kita itu yakin bahwa manusia di bumi ini ada yang membuatnya dan me-reka tahu pula bahwa manusia terdiri dari tubuh fana dan roh yang tidak dapat mati, yang belum dipahaminya yaitu ajaran agama tentang adanya surga, naraka dan dosa, sehingga para leluhur kita berkeyakinan, roh orang mati akan tetap bergentayangan didunia. Yang pada masa hidupnya berperilaku baik menjadi roh atau opo yang baik, yang jahat akan tetap jahat. Pemahamannya bahwa ‘Opo Empung Wangko’ yang merajai semua Roh dan Opo telah menciptakan Opo baik dan Opo jahat dan para keturunan Toar-Lumimuut dapat memilih sesuai nurani mau jadi pengikut yang mana.
Seorang Tonaas dengan kemampuan mistiknya dapat berkomunikasi dengan opo-opo tersebut, ia sanggup memanggil roh opo masuk merasuk pada seorang ‘Pakampetan’
Semua yang hadir melalui Pakampetan dapat berkomunikasi dengan Opo-Opo, yang biasanya mula-mula memperkenalkan diri. Maka dari dialog tersebut kami dapat mengenal akan beberapa opo yang sakti(supra-natural), antara lain ‘Opo Siou Kurur’ karena badannya tinggi besar dan sanggup berjalan sangat cepat dijuluki ‘opo sembilan lutut’, berikut ‘Opo Don-dokambey’ dari Tonsea ke Watu Pinabetengan dengan menunggang kuda belang (bata-bata). Dan masyarakat Manado mengenal Opo Lolonglasut, Si Raja Wenang yang dina-makan ‘Tonaas Menandou’ (bahasa Tonsea, ‘menandou’ artinya ditempat jauh). Konon dahulu para leluhur dari Tonsea kalau hendak ke Wenang dengan roda sapi atau menung gang kuda, bila ditanya oleh bangsa pendatang (Belanda atau Portugis) apa nama tempat tujuan perjalanannya, oleh leluhur akan dijawab “menandou” yang diartikan oleh sipenanya bahwa kampung tujuan namanya “Menandou” kemudian disesuaikan dengan dialek orang barat “Menado’.
Sampai sekarang orang Minahasa bila hendak ke Manado akan berkata: ‘mange aki Wenang’ (Tonsea), ‘meros ti Wenang’ (Tombulu), ‘mae ki Wenang’ (Tondano). ‘mongem Wenang’ (Langoan), jadi sebenarnya Wenang adalah nama asli Kota Manado.
Kembali tentang Opo-Opo kita, dari generasi lebih muda antara lain yang dikenal sekitar pelabuhan Manado pada waktu itu ‘Opo Burik Muda’ si penggemar adu ayam, beliau salah satu anak buah Opo Lolonglasut dan masih banyak lagi Opo-Opo Sakti yang lain.
Dari Opo-Opo sakti melalui para Tonaas atau Pakampetan dapat diperoleh jimat-jimat berupa batu-batu cincin, jenis akar dll. yang dibungkus kain merah dan dilingkar pada pangkal lengan, paha dan pinggang untuk penangkal malapetaka, penyakit, kebal peluru, senjata tajam. Para Tonaas sanggup juga memanggil roh keluarga kita yang sudah me-ninggal dan si pakampetan yang kesurupan akan berperilaku dan suara yang sama de-ngan yang dipanggil. Namun sekarang ini, Tonaas dan Pakampetan sudah langkah, yang ada banyak yang munafik, hanya untuk popularitas atau maksud lain, mengaku sanggup mengobati semua penyakit luar dalam dan untuk meyakinkan publik dipakainya Kitab Suci sebagai media agar supaya tidak dituding iblis atau setan. Hal tersebut merusak image mengenai istilah ‘Opo-Opo’. Sekiranya ada ahli bahasa dan budaya Minahasa dapat meluruskan kembali dan merehabilitir arti kata luhur “Opo” pada proporsi sebe-narnya. (catatan : istilah ‘DOTU’ berasal bah.Melayu bukan asli Minahasa).
Nenek moyang kita meskipun hidup dizaman batu, yang belum tersentuh ajaran agama atau budaya dari luar, tetapi sebagai machluk ciptaan Tuhan, seperti kita keturunannya juga telah dikaruniakan naluri dan kemampuan berpikir, kalau tidak, mana mungkin me-reka sanggup exist hidup dan berkembang hingga turun-temurun sampai abad 21 ini.
Para leluhur kita itu yakin bahwa manusia di bumi ini ada yang membuatnya dan me-reka tahu pula bahwa manusia terdiri dari tubuh fana dan roh yang tidak dapat mati, yang belum dipahaminya yaitu ajaran agama tentang adanya surga, naraka dan dosa, sehingga para leluhur kita berkeyakinan, roh orang mati akan tetap bergentayangan didunia. Yang pada masa hidupnya berperilaku baik menjadi roh atau opo yang baik, yang jahat akan tetap jahat. Pemahamannya bahwa ‘Opo Empung Wangko’ yang merajai semua Roh dan Opo telah menciptakan Opo baik dan Opo jahat dan para keturunan Toar-Lumimuut dapat memilih sesuai nurani mau jadi pengikut yang mana.
Seorang Tonaas dengan kemampuan mistiknya dapat berkomunikasi dengan opo-opo tersebut, ia sanggup memanggil roh opo masuk merasuk pada seorang ‘Pakampetan’
Semua yang hadir melalui Pakampetan dapat berkomunikasi dengan Opo-Opo, yang biasanya mula-mula memperkenalkan diri. Maka dari dialog tersebut kami dapat mengenal akan beberapa opo yang sakti(supra-natural), antara lain ‘Opo Siou Kurur’ karena badannya tinggi besar dan sanggup berjalan sangat cepat dijuluki ‘opo sembilan lutut’, berikut ‘Opo Don-dokambey’ dari Tonsea ke Watu Pinabetengan dengan menunggang kuda belang (bata-bata). Dan masyarakat Manado mengenal Opo Lolonglasut, Si Raja Wenang yang dina-makan ‘Tonaas Menandou’ (bahasa Tonsea, ‘menandou’ artinya ditempat jauh). Konon dahulu para leluhur dari Tonsea kalau hendak ke Wenang dengan roda sapi atau menung gang kuda, bila ditanya oleh bangsa pendatang (Belanda atau Portugis) apa nama tempat tujuan perjalanannya, oleh leluhur akan dijawab “menandou” yang diartikan oleh sipenanya bahwa kampung tujuan namanya “Menandou” kemudian disesuaikan dengan dialek orang barat “Menado’.
Sampai sekarang orang Minahasa bila hendak ke Manado akan berkata: ‘mange aki Wenang’ (Tonsea), ‘meros ti Wenang’ (Tombulu), ‘mae ki Wenang’ (Tondano). ‘mongem Wenang’ (Langoan), jadi sebenarnya Wenang adalah nama asli Kota Manado.
Kembali tentang Opo-Opo kita, dari generasi lebih muda antara lain yang dikenal sekitar pelabuhan Manado pada waktu itu ‘Opo Burik Muda’ si penggemar adu ayam, beliau salah satu anak buah Opo Lolonglasut dan masih banyak lagi Opo-Opo Sakti yang lain.
Dari Opo-Opo sakti melalui para Tonaas atau Pakampetan dapat diperoleh jimat-jimat berupa batu-batu cincin, jenis akar dll. yang dibungkus kain merah dan dilingkar pada pangkal lengan, paha dan pinggang untuk penangkal malapetaka, penyakit, kebal peluru, senjata tajam. Para Tonaas sanggup juga memanggil roh keluarga kita yang sudah me-ninggal dan si pakampetan yang kesurupan akan berperilaku dan suara yang sama de-ngan yang dipanggil. Namun sekarang ini, Tonaas dan Pakampetan sudah langkah, yang ada banyak yang munafik, hanya untuk popularitas atau maksud lain, mengaku sanggup mengobati semua penyakit luar dalam dan untuk meyakinkan publik dipakainya Kitab Suci sebagai media agar supaya tidak dituding iblis atau setan. Hal tersebut merusak image mengenai istilah ‘Opo-Opo’. Sekiranya ada ahli bahasa dan budaya Minahasa dapat meluruskan kembali dan merehabilitir arti kata luhur “Opo” pada proporsi sebe-narnya. (catatan : istilah ‘DOTU’ berasal bah.Melayu bukan asli Minahasa).
Donderdag 25 April 2013
Ekspedisi Opo Wuri Muda dan riwayatnya(opo wuri)
kubur Soleman Paulus Wuri (Opo Wuri Muda) di Teling
Waruga Opo Wurik Sombor (Wuri Muda) di Nawanua - Kakaskasen III - Tomohon
Manifestasi Opo Wuri Muda di Kakaskasen III - Tomohon
Watu Pahsaruen ne Wurik Sombor di Kakaskasen III - Tomohon 22 Desember 2007, dengan relief Opo Wuri Muda di sebelah kiri.
*RIWAYAT KEHIDUPAN DARI PADA WURI MUDA (WURIK SOMBOR)
Pada waktu kedatangan bangsa Portugis di tanah Minahasa di zaman
dahulu, maka ayah dari pada Wurik Muda ini yang asli berkebangsaan
Portugis datang dan bertemu dengan ibunya Wurik pada suatu wilayah
kampung tua yang namanya sekarang Kinilow. Ketika bertemu akhirnya kedua
saling jatuh cinta dan akhirnya menikah. Dari pernikahannya ini
kemudian mendapatkan anak yang diberi nama dalam bahasa Portugis.
Ketika wurik muda sudah mulai remaja maka ayahnya mengajak berlayar
ikut kapal Portugis menjelajahi dunia. Dari perjalanan inilah akhirnya
Wurik muda mendapatkan ilmu beberapa bahasa Negara-negara yang sempat
dikunjunginya selain bahasa-bahasa yang sudah diajarkan ayahnya. Dan
memang seorang wurik muda cukup pinter dan lihai dalam pergaulan di
kalangannya, juga seorang yang gagah dan tampan seperti ayahnya yang
berkebangsaan portugis.
Setelah sekian lamanya merantau ke beberapa negara yang disinggahi
kapal portugis yang ditumpanginya, Wurik Muda semakin dewasa dan
akhirnya suatu waktu Wurik Muda pulang dan kembali ke kampung halamannya
yang sekarang namanya Kinilow dimana ibunya tinggal dan sebagai tempat
asal lahirnya. Ketika Wurik Muda pulang dan sampai di kampung ibunya
sudah menikah dengan seorang yang cukup disegani dikampung ini, karena
ibumnya adalah seorang yang cukup cantik di kampung, maka disuntinglah
ibunya dari Wurik muda ini oleh seorang ketua di kampung ini dan cukup
disegani karena ilmunya yang tinggi. Orang ini atau Ayah tiri dari Wurik
muda bernaman Wurik Tua. Dari kehebatan ilmu yang dipegang dari pada
Wurik Tua sehingga sangat disegani dikampungnya waktu itu. Nama “Wurik”
diambil dari nama Ayah tirinya yang bernama “Wurik”, jadi Wurik Tua
untuk ayah tirinya, sedangkan Wurik Muda untuk anaknya, yang dulunya
Wurik muda diberi nama dalam bahasa Portugis. Di masa semakin dewasa
wurik muda termasuk orang yang suka bergaul dikampung bahkan sampai
keluar kampung, apalagi ketampanannya dan pinter berbahasa asing dari
beberapa negara, maka dari itulah seorang wurik muda banyak dilirik oleh
wanita-wanita cantik baik dikampungnya maupun di luar kampung.
Selain itu seorang Wurik Muda pinter berhitung dan juga ilmu dari ayah
tirinya diturunkan kepadanya sehingga semakin dewasa Wurik Muda sering
berganti-ganti wanita atau gadis-gadis cantik apabila dia
menginginkannya. Jadi kehidupannya sukanya berkelana dari satu kampung
ke kampung lain dimana bilamana dia inginkan, sampai-sampai di seluruh
kampung yang dikunjunginya banyak orang mengenalnya dan cukup disegani
apalagi ayahnya dikenal orang yang cukup berilmu, maka dari itulah Wurik
muda terkenal dimana-mana apalagi dikalangan wanita atau gadis-gadis
cantik. Keunggulan-keunggulan dari pada wurik Muda atau dalam bahasa
Tombulu (Wurik Sombor) inilah selain tampan bertubuh tinggi besar,
pinter berbahasa dari beberapa negara maupun suku-suku di Indonesia
serta mempunyai ilmu yang diturunkan padanya dari ayah tirinya berupa
pegangan yang bisa menghilangkan dirinya, kebal barang tajam, pinter
berjudi dan pinter mengait para wanita/gadis muda serta pinter bela
diri. Itulah yang namanya seorang Wurik Muda (Wurik Sombor) di zaman
kehidupannya waktu itu. Namun perilaku dari pada Wurik Muda semakin lama
dinilai orang tuanya sudah melebihi batas-batas norma maka orang
tuanya melarangnya berbuat demikian atas perilakunya tersebut. Tetapi
karena Wurik Muda tetap saja tidak mau dinasehati akhirnya hubungan
antara ayah dan anak mulai renggang dan sering kali keduanya berbeda
pendapat. Akhirnya kedua-duanya tidak bisa saling bertemu dan bila
bertemu maka perselisihan akan terjadi. Akhirnya Wurik Muda selalu
mengalah dan pergi apabila bertemu dengan ayahnya Wurik Tua.
Demikian pula para teman-teman maupun saudara-saudara dari Wurik Tua
setelah mengetahui perilaku dari Wurik Muda maka mereka tidak
menerimanya juga. Sebelumnya mereka sangat menyayangi Wurik Muda.
Akhirnya Wurik muda berkelana sampai ke luar negeri ini dalam kurun
waktu yang cukup lama karena bisa dan mahir berbahasa asing dan beliau
cukup terkenal juga dimana dia mengunjungi tempat-tempat atau
negara-negara maupun daerah-daerah yang ada di Indonesia ini terutama
dipulau Jawa. Seorang Wurik muda biasanya berpakaian ala Portugis dengan
khasnya dengan pakaian yang banyak kancingnya, bertopi orang Portugis/
pelaut dan bersepatu portugis pula dengan sebuah pedang disamping
kirinya selalu selama bepergian. Hal ini merupakan kebiasaannya sejak
ayahnya yang berkebangsaan Portugis waktu masih bersama-sama dengannya
sampai dewasanya yang berkepribadian sama halnya orang Portugis.
Seorang Wurik muda karena pergaulannya sehingga banyak temannya sewaktu
dia hidup baik di wilayah Kinilow waktu itu maupun Kinaskas atau
kakaskasen dan sekitarnya bahkan dimana dia datangi di wilayah atau
tanah Minahasa ini bahkan sampai ke luar negeri pada masa kehidupannya.
Maka dari itu Wurik muda dimana-mana mempunyai anak buahnya beserta
ajudannya sewaktu dia sudah dewasa dan dari pengawal-pengawalnya sudah
dibekali dengan ilmu kesaktian daripadanya pula. Dizaman sekarang yakni
antara kampung Kinilow dan Kakaskasen pada perbatasan dari kedua
kampung ini kita bisa jumpai sebuah pohon damar yang besar dan rindang,
kononnya menurut cerita di tempat ini merupakan tempat pertapaannya
diwaktu itu, dan hingga sekarang masih ada beberapa Tua-tua atau para
Tonaas di wilayah kedua perkampungan ini sering mengadakan ritual-ritual
budaya untuk penghormatan dan maksud tujuan-tujuan tertentu.
Sebetulnya ilmu kesaktian dari pada si Wurik Muda (wurik Sombor) ini
cukup terkenal dikalangan masyarakat pada waktu itu seperti jaga diri
(pahpakean /pakaian), pencarian/rejeki, cari jodoh dan sebagainya sampai
pada penciptaan uang dan pengambilan benda-benda berupa pusaka dan
sejenisnya.
Namun terkadang si Wurik Sombor sendiri memberi contoh yang tidak
terpuji dihadapan orang-orang pada waktu itu dan justru dari pada
inilah beliau sering ditantang dari pada pemuka adat baik dikampunyg
maupun di luar kampung dimana dia berada, apalagi ayahnya tirinya
sendiri tadi yakni si Wurik Tua. Jadi para leluhur di zaman itu sangat
betentangan dengan perilaku dari pada wurik muda atas perilakunya yang
terkadang sudah melewati batas norma-norma yang ada, padahal diantara
para leluhur banyak yang segani kepiawaiannya, atas ilmu kesaktian yang
didapatkan dari sang ayahnya, namun halnya dari kepiawaiannya inilah
akhirnya menjadi kerenggangan dan keretakan hubungan baik dari pada
teman-temannya sendiri, petua-petua dikampung bahkan ayahnya
sendiripula. Selama perjalanan si wurik sombor ini dimasa hidupnya di
beberapa wilayah yang ada di Minahasa beliau banyak menurunkan ilmu
kepada orang-orang yang dijumpai dan sudah merupakan pengikutnya, tapi
ilmu yang diturunkannya hanya sebagian kecil dari padanya
Sebenarnya seorang Wurik Muda adalah penurut dan sangat menghormati
orang tuanya dan para tetua-tetua dikampungnya dan bahkan karena
rajinnya beliau maka sering setiap ada permasalahan di kampung para
tetua-tetua atau leluhur-leluhur yang lebih tua dari padanya waktu itu
selalu memerintahkan padanya untuk diselesaikannya baik masalah adat dan
sebagainya. Kepercayaan dari tetua-tetua ini dikarenakan ilmu yang ada
padanya dinilai sangat sakti dan lebih tinggi dari pada mereka
sendiri, maka dari itulah dimana beliau mengunjungi suatu wilayah
beliau sangat disegani dan dihormati orang-orang di kampung itu, dan
akhirnya lama kelamaan si Wurik Muda banyak pula yang tidak menerima
atas perilakunya yang dinilai sudah tidak wajar lagi dengan norma-norma
adat. Jadi itulah kehidupan seorang Wurik Muda (Wurik sombor) yang
cukup dikenal dikalangan masyarakat di zamannya waktu itu.
Di wilayah Nawanua Kinaskas atau Kampung Baru Kakaskasen Tiga sekarang
tidak jauh dari pekuburan para leluhur (waruga) ke arah Timur +
500 meter terdapat suatu batu berbentuk kepala Manguni yang kononnya
merupakan tempat persinggahan dan peristirahatan dari si Wurik Sombor
sewaktu beliau mengadakan perjalanan ke beberapa wilayah di Minahasa.
Juga menurut cerita selain dari pada Pohon damar yang besar yang
terdapat di kebun salugan yang merupakan batas kedua kampung yakni
Kinilow dan Kakaskasen sekarang adalah tempat persinggahan dan pertapaan
beliau bergitu juga halnya di tempat yang sudah disebut di atas yakni
di batu kepala manguni sama halnya demikian. Batu yang berbentuk kepala
manguni terletak tidak jauh dari 3 batu saling menghadap (watu
Pahsaruan) yang berlokasi sekarang bernama kebun Sarang, termasuk
kompleks perkampungan baru Kinaskas atau sekarang Kakaskasen Tiga. Di
tempat inilah sampai sekarang masih banyak para tua-tua di kampung atau
para Tonaas sering mengadakan Ritual adat untuk menghormatinya selain
maksud tujuan-tujuan tertentu pula. Dan tidak jauh dari tempat ini yang
hanya kira-kira 500 meter ke arah Barat terdapat kuburan (Waruga) dari
pada si Wurik Muda (Wurik Sombor) ini.
Woensdag 24 April 2013
Buku: Hikajat Tuwah Tanah Minahasa - JGF Riedel 1862
Hikajat Tuwah Tanah Minahasa - JGF Riedel 1862 halaman 1.
Hikajat Tuwah Tanah Minahasa - JGF Riedel 1862 halaman 1.
Hikajat Tuwah Tanah Minahasa - JGF Riedel 1862 halaman 4-5.
Hikajat Tuwah Tanah Minahasa - JGF Riedel 1862 halaman 6-7.
Maandag 22 April 2013
Galeri Foto Minahasa: Letkol. KNIL dr. J.A.J. Kawilarang
Letkol. KNIL dr. J.A.J. Kawilarang
Satu-satunya orang Minahasa yang jadi Letkol KNIL (biar le cuma titulair),
om dari Alex Kawilarang - Panglima Besar Permesta
Satu-satunya orang Minahasa yang jadi Letkol KNIL (biar le cuma titulair),
om dari Alex Kawilarang - Panglima Besar Permesta
Sondag 21 April 2013
LANGOWAN, RIWAYATMU DULU
MASUKNYA PENDUDUK PERTAMA DI LANGOWAN
Seperti biasanya terbentuknya suatu perkampungan penduduk (tumani) berawal dari pemukiman di suatu tempat yang awalnya hanya sebagai tempat untuk berkebun/bertani. Dan biasanya tempat perkebunan itu dinilai memiliki tanah yang subur untuk bisa bercocok tanam. Dan bagi mereka yang memiliki keterampilan sebagai nelayan, akan mencari tempat peristirahatan yang baik di kala mencari ikan. Dan syarat lainnya, yaitu tempat tersebut tidak jauh dari sumber air (mata air atau kolam). Karena biasanya manusia senantiasa membutuhkan air untuk minum, memasak atau mencuci.
Dari penelitian sejarah desa serta cerita turun temurun yang dapat dipercaya, dan juga bukti-bukti sejarah lainnya (seperti pekuburan tua) maka masuknya penduduk pertama di wilayah Langowan adalah bermula dari tempat yang bernama Palamba, Temboan, dan Rumbia. Ketiga tempat ini semuanya sudah menjadi desa yang definitif.
Sebelumnya terbentuknya tempat-tempat pemukiman tersebut, dalam sejarah Minahasa kita mengetahui ada pertemuan orang-orang Minahasa yang dilakukan di Pinawetengan. Kejadian itu terjadi sekitar tahun 1428, dimana tahun ini dijadikan tahun Hari Jadi Minahasa. Setelah peristiwa pembagian (Pinawetengan) ini, maka sesuai dengan kesepakatan bersama, banyak orang Minahasa mulai kembali ke tempatnya masingmasing dan ada pula yang mencari tempat baru, sebagai tempat Demikian halnya dengan orang-orang yang berkeinginan untuk hidup di wilayah Langowan, seperti yang dikemukakan tadi. Mereka mulai mendiami Palamba, Temboan dan Rumbia.
1. PALAMBA
Kira-kira abad ke XVI, pengikut-pengikut dari Toar Lumimuut mengadakan perjalanan mengelilingi tanah Minahasa. Mereka kemudian beristirahat di Palamba yang waktu itu masih hutan rimba, dimana tempat ini menurut anggapan mereka cukup baik dan menyenangkan. Untuk tempat beristirahat mereka mendirikan gubuk dari batang pohon kayu dan daun-daunan yang menurut bahasa Tountemboan "palapa". Konon dari kata inilah pemukiman tersebut dinamakan Palapa yang kemudian berubah menjadi Palamba sampai sekarang ini.
Lama kelamaan untuk memenuhi bekal makanan, mereka mulai membuka perkebunan/huma di tempat itu. Terutama mereka menanam pisang, umbi-umbian dan sayuran. Sehingga lama-kelamaan perkebunan itu makin luas dan orang-orang yang bermukim di stiu makin bertambah.
Dengan semakin bertambah penduduknya, maka sebagaimana tradisi orang Minahasa dalam suatu perhimpunan penduduk yang sudah cukup banyak, diperlukan seorang pemimpin. Dan oleh karena itu pada sekitar tahun 1600 sampai pada tahun-tahun berikutnya pemukiman tersebut telah dipimpin oleh para Tonaas dan Walak yang sayang sekali nama-namanya tidak diketahui lagi. Sehingga dapat dipastikan bahwa desa Palamba merupakan desa tertua di Langowan. Ini juga dapat dibuktikan dengan adanya waruga (kuburan tua/prasasti) Toar Lumimuut yang ada di sana, dan merupakan tempat pertama orang-orang yang masuk dan menetap di Langowan.
2.TEMBOAN
Berdasarkan sejarah desa Temboan, penduduk yang pertama masuk ke Temboan adalah bangsa Portugis, yaitu pada abad XVII atau sekitar tahun 1690. Konon menurut cerita, dengan tidak sengaja mereka mengambil kayu hitam yang ada di sekitar sungai Ranowangko kemudian dimuat di kapal laut. Oleh karena muatannya sudah penuh, maka kapalnya kandas dan memerlukan beberapa hari untuk keluar dari lokasi.
Pada saat itulah ada seorang di antara mereka yang bernama Luly mencari bantuan, terutama bahan makanan yang makin menipis dan berjalanlah ia menuju utara, dengan tidak melewati Palamba atau Atep. Karena waktu itu ia belum mengetahui kalau ada pemukiman di dekat lokasi tersebut. Dan sampailah ia di negeri Tompaso, dan dari sana ia mengajak orang bernama Kelung, sekaligus untuk membantu mengeluarkan kapal mereka yang kandas. Tetapi setibanya di sungai Ranowangko, kapal tersebut sudah tidak ada, atau sudah berangkat. Maka merekapun mencari tempat perteduhan/peristirahatan di sekitar lokasi tersebut. Mereka menamakan tempat itu Talawatu karena tempat itu hanya tumbuh pohon kayu hitam yang besar dan keras. Kemudian mulailah mereka membuat gubuk dari pohon kayu dan daun-daunan. dan membuka lahan perkebunan untuk ditanami t:unaman pangan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Setelah mereka merasakan lokasi pemukiman cukup baik, maka mereka mengajak saudara dan kenalan mereka untuk bermukim di tempat ini, sehingga lama kelamaan orang-orang makin bertambah, sehingga pada tahun 1829 jadilah sebuah perkampungan Talawatu yang dipimpin oleh seorang Kepala kampung bernama Tonaas Tumataw (lihat catatan harian RC. Massie tahun 1965, tahun 19221946 mantan Kepala Desa Amongena). Namun saat itu perkampungan ini dilanda penyakit kolera dan malaria, sehingga pada tahun 1896 penduduk di tempat ini berpindah ke lokasi baru di dataran tinggi, yaitu di lokasi yang ada sekarang (desa Temboan). Temboan berarti berada di ketinggian, atau dalam bahasa Tountemboan matembo yang berarti dari ketinggian.
3. RUMBIA
Pada mulanya sekitar tahun 1825 nelayan-nelayan dari Mongondow, Ternate, Buton, Bugis, Gorontalo dan Sangir mencari ikan Taut di Laut Maluku, sehingga di antara mereka ada yang singgah di pantai Rumbia.
Mulanya nelayan-nelayan ini karena kelelahan mereka beristirahat di tempat ini dan membuat daseng atau gubuk sebagai tempat berteduh. Oleh karena tempat ini terdapat banyak pohon rumbia yang tumbuh di rawa-rawa, maka mereka mengambilnya untuk dijadikan atap daseng/gubuk. Oleh karena pohon rumbia ini banyak manfaatnya,seperti daun dan tangkainya dapat digunakan untuk atap dan isi batangnya bisa dibuat sagu, maka akhirnya tempat peristirahatan itu dinamakan Rumbia.
Lama-kelamaan orang-orang yang dulunya beristirahat di situ, mulai tinggal menetap, dan jumlahnya makin bertambah. Mereka yang juga dulunya tinggal di Palamba dan Atep, sebagiannya mulai menetap di Rumbia, dan akhirnya menjadi perkampungan. Pada tahun 1854 perkampungan ini telah dipimpin oleh seorang Kepala Kampung bernama Albert Mawuntu yang berasal dari negeri Atep, dan ia merupakan Kepala Kampung yang pertama.
PERKAMPUNGAN/NEGERI MULA-MULA
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa masuknya penduduk pertama di Langowan adalah di perkampungan Palamba pada abad XVI atahu tahun 1500an. Kemudian orang-orang dari Palamba tersebut pada waktu mereka pulang-pergi, diantaranya menghadiri musyawarah di Watu Pinawetengan, mereka singgah dan melihat lokasi Mawale (sekarang sebagian wilayah desa Tounelet) baik untuk perkebunan. Maka pada akhir abad XVII atau tahun 1600-an mereka datang bermukim di sana dan membuka perkebunan baru di tempat itu.
Selain penduduk dari Palamba, konon orang-orang yang setelah mengikuti perang Minahasa-Mongondow pada tahun 1683 sebagian tidak kembali ke negeri asalnya, tetapi kemudian datang menetap di Mawale. Oleh sebab itu setelah pemukiman Mawale ini penduduknya makin bertambah, maka mulailah mereka mencari lokasi perkebunan yang baru dan pada tahun 1806 mereka mulai membuka pemukiman baru di Walantakan dan Waleure. Negeri Walantakan pada tahun 1806 dipimpin oleh Kepala Kampung Makaware/Wakarewa. sedangkan kampung/negeri Waleure dipimpin oleh Waraney.
Berdasarkan penelitian sejarah, maka didapati bahwa dari pemukiman Mawale inilah yang dominan terdapat penyebaran penduduk, sehingga muncul pemukiman-pemukiman baru lainnya di Langowan. Dari 29 desa di Langowan sekarang ini, sebagian besar (sekitar 24) desa awalnya dari pemukiman Mawale. Sementara empat desa lainnya, yaitu Atep, Palamba, Rumbia dan Temboan sudah lebih dulu berdiri. Mengenai asal-usul Palamba, Rumbia dan Temboan sudah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan Atep terbentuk dari kedatangan orang Palamba yang mulai menetap di sana sejak tahun 1780, yang awalnya juga membuka perkebunan.
Dari gambaran di atas dapatlah disimpulkan bahwa perkampungan negeri mula-mula di Langowan adalah sebagai berikut:
Seperti biasanya terbentuknya suatu perkampungan penduduk (tumani) berawal dari pemukiman di suatu tempat yang awalnya hanya sebagai tempat untuk berkebun/bertani. Dan biasanya tempat perkebunan itu dinilai memiliki tanah yang subur untuk bisa bercocok tanam. Dan bagi mereka yang memiliki keterampilan sebagai nelayan, akan mencari tempat peristirahatan yang baik di kala mencari ikan. Dan syarat lainnya, yaitu tempat tersebut tidak jauh dari sumber air (mata air atau kolam). Karena biasanya manusia senantiasa membutuhkan air untuk minum, memasak atau mencuci.
Dari penelitian sejarah desa serta cerita turun temurun yang dapat dipercaya, dan juga bukti-bukti sejarah lainnya (seperti pekuburan tua) maka masuknya penduduk pertama di wilayah Langowan adalah bermula dari tempat yang bernama Palamba, Temboan, dan Rumbia. Ketiga tempat ini semuanya sudah menjadi desa yang definitif.
Sebelumnya terbentuknya tempat-tempat pemukiman tersebut, dalam sejarah Minahasa kita mengetahui ada pertemuan orang-orang Minahasa yang dilakukan di Pinawetengan. Kejadian itu terjadi sekitar tahun 1428, dimana tahun ini dijadikan tahun Hari Jadi Minahasa. Setelah peristiwa pembagian (Pinawetengan) ini, maka sesuai dengan kesepakatan bersama, banyak orang Minahasa mulai kembali ke tempatnya masingmasing dan ada pula yang mencari tempat baru, sebagai tempat Demikian halnya dengan orang-orang yang berkeinginan untuk hidup di wilayah Langowan, seperti yang dikemukakan tadi. Mereka mulai mendiami Palamba, Temboan dan Rumbia.
1. PALAMBA
Kira-kira abad ke XVI, pengikut-pengikut dari Toar Lumimuut mengadakan perjalanan mengelilingi tanah Minahasa. Mereka kemudian beristirahat di Palamba yang waktu itu masih hutan rimba, dimana tempat ini menurut anggapan mereka cukup baik dan menyenangkan. Untuk tempat beristirahat mereka mendirikan gubuk dari batang pohon kayu dan daun-daunan yang menurut bahasa Tountemboan "palapa". Konon dari kata inilah pemukiman tersebut dinamakan Palapa yang kemudian berubah menjadi Palamba sampai sekarang ini.
Lama kelamaan untuk memenuhi bekal makanan, mereka mulai membuka perkebunan/huma di tempat itu. Terutama mereka menanam pisang, umbi-umbian dan sayuran. Sehingga lama-kelamaan perkebunan itu makin luas dan orang-orang yang bermukim di stiu makin bertambah.
Dengan semakin bertambah penduduknya, maka sebagaimana tradisi orang Minahasa dalam suatu perhimpunan penduduk yang sudah cukup banyak, diperlukan seorang pemimpin. Dan oleh karena itu pada sekitar tahun 1600 sampai pada tahun-tahun berikutnya pemukiman tersebut telah dipimpin oleh para Tonaas dan Walak yang sayang sekali nama-namanya tidak diketahui lagi. Sehingga dapat dipastikan bahwa desa Palamba merupakan desa tertua di Langowan. Ini juga dapat dibuktikan dengan adanya waruga (kuburan tua/prasasti) Toar Lumimuut yang ada di sana, dan merupakan tempat pertama orang-orang yang masuk dan menetap di Langowan.
2.TEMBOAN
Berdasarkan sejarah desa Temboan, penduduk yang pertama masuk ke Temboan adalah bangsa Portugis, yaitu pada abad XVII atau sekitar tahun 1690. Konon menurut cerita, dengan tidak sengaja mereka mengambil kayu hitam yang ada di sekitar sungai Ranowangko kemudian dimuat di kapal laut. Oleh karena muatannya sudah penuh, maka kapalnya kandas dan memerlukan beberapa hari untuk keluar dari lokasi.
Pada saat itulah ada seorang di antara mereka yang bernama Luly mencari bantuan, terutama bahan makanan yang makin menipis dan berjalanlah ia menuju utara, dengan tidak melewati Palamba atau Atep. Karena waktu itu ia belum mengetahui kalau ada pemukiman di dekat lokasi tersebut. Dan sampailah ia di negeri Tompaso, dan dari sana ia mengajak orang bernama Kelung, sekaligus untuk membantu mengeluarkan kapal mereka yang kandas. Tetapi setibanya di sungai Ranowangko, kapal tersebut sudah tidak ada, atau sudah berangkat. Maka merekapun mencari tempat perteduhan/peristirahatan di sekitar lokasi tersebut. Mereka menamakan tempat itu Talawatu karena tempat itu hanya tumbuh pohon kayu hitam yang besar dan keras. Kemudian mulailah mereka membuat gubuk dari pohon kayu dan daun-daunan. dan membuka lahan perkebunan untuk ditanami t:unaman pangan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Setelah mereka merasakan lokasi pemukiman cukup baik, maka mereka mengajak saudara dan kenalan mereka untuk bermukim di tempat ini, sehingga lama kelamaan orang-orang makin bertambah, sehingga pada tahun 1829 jadilah sebuah perkampungan Talawatu yang dipimpin oleh seorang Kepala kampung bernama Tonaas Tumataw (lihat catatan harian RC. Massie tahun 1965, tahun 19221946 mantan Kepala Desa Amongena). Namun saat itu perkampungan ini dilanda penyakit kolera dan malaria, sehingga pada tahun 1896 penduduk di tempat ini berpindah ke lokasi baru di dataran tinggi, yaitu di lokasi yang ada sekarang (desa Temboan). Temboan berarti berada di ketinggian, atau dalam bahasa Tountemboan matembo yang berarti dari ketinggian.
3. RUMBIA
Pada mulanya sekitar tahun 1825 nelayan-nelayan dari Mongondow, Ternate, Buton, Bugis, Gorontalo dan Sangir mencari ikan Taut di Laut Maluku, sehingga di antara mereka ada yang singgah di pantai Rumbia.
Mulanya nelayan-nelayan ini karena kelelahan mereka beristirahat di tempat ini dan membuat daseng atau gubuk sebagai tempat berteduh. Oleh karena tempat ini terdapat banyak pohon rumbia yang tumbuh di rawa-rawa, maka mereka mengambilnya untuk dijadikan atap daseng/gubuk. Oleh karena pohon rumbia ini banyak manfaatnya,seperti daun dan tangkainya dapat digunakan untuk atap dan isi batangnya bisa dibuat sagu, maka akhirnya tempat peristirahatan itu dinamakan Rumbia.
Lama-kelamaan orang-orang yang dulunya beristirahat di situ, mulai tinggal menetap, dan jumlahnya makin bertambah. Mereka yang juga dulunya tinggal di Palamba dan Atep, sebagiannya mulai menetap di Rumbia, dan akhirnya menjadi perkampungan. Pada tahun 1854 perkampungan ini telah dipimpin oleh seorang Kepala Kampung bernama Albert Mawuntu yang berasal dari negeri Atep, dan ia merupakan Kepala Kampung yang pertama.
PERKAMPUNGAN/NEGERI MULA-MULA
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa masuknya penduduk pertama di Langowan adalah di perkampungan Palamba pada abad XVI atahu tahun 1500an. Kemudian orang-orang dari Palamba tersebut pada waktu mereka pulang-pergi, diantaranya menghadiri musyawarah di Watu Pinawetengan, mereka singgah dan melihat lokasi Mawale (sekarang sebagian wilayah desa Tounelet) baik untuk perkebunan. Maka pada akhir abad XVII atau tahun 1600-an mereka datang bermukim di sana dan membuka perkebunan baru di tempat itu.
Selain penduduk dari Palamba, konon orang-orang yang setelah mengikuti perang Minahasa-Mongondow pada tahun 1683 sebagian tidak kembali ke negeri asalnya, tetapi kemudian datang menetap di Mawale. Oleh sebab itu setelah pemukiman Mawale ini penduduknya makin bertambah, maka mulailah mereka mencari lokasi perkebunan yang baru dan pada tahun 1806 mereka mulai membuka pemukiman baru di Walantakan dan Waleure. Negeri Walantakan pada tahun 1806 dipimpin oleh Kepala Kampung Makaware/Wakarewa. sedangkan kampung/negeri Waleure dipimpin oleh Waraney.
Berdasarkan penelitian sejarah, maka didapati bahwa dari pemukiman Mawale inilah yang dominan terdapat penyebaran penduduk, sehingga muncul pemukiman-pemukiman baru lainnya di Langowan. Dari 29 desa di Langowan sekarang ini, sebagian besar (sekitar 24) desa awalnya dari pemukiman Mawale. Sementara empat desa lainnya, yaitu Atep, Palamba, Rumbia dan Temboan sudah lebih dulu berdiri. Mengenai asal-usul Palamba, Rumbia dan Temboan sudah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan Atep terbentuk dari kedatangan orang Palamba yang mulai menetap di sana sejak tahun 1780, yang awalnya juga membuka perkebunan.
Dari gambaran di atas dapatlah disimpulkan bahwa perkampungan negeri mula-mula di Langowan adalah sebagai berikut:
- Palamba, pemukiman sekitar abad XVI atau tahun 1500-an, dan kemudian menjadi kampung/negeri sekitar abad XVII atau tahun 1600-an,mulai dipimpin oleh seorang Tonaas yang belum diketahui jati dirinya.
- Temboan, pemukiman tahun 1690. kepala kampung/negeri yang pertama Tonaas Tumataw.
- Atep, pemukiman sekitar-tahun 1768 memilih suatu lokasi di dataran rendah dan menjadi kampung/negeri tahun 1780 dengan kepala kampung/Tonaas Reppi.
- Walantakan, pemukiman tahun 1806, kepala kampung/negeri Makarewa. Dibuktikan dengan adanya waruga (kuburan tua) yang ada di Walantakan.
- Waleure, pemukiman tahun 1806, kepala kampung/Walak Waraney.
ASAL-USUL NAMA LANGOWAN
Pada umumnya seseorang atau kelompok dalam memberikan nama kepada suatu obyek, apakah itu manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, tempat atau obyek lainnya, biasanya selalu mempunyai arti atau kenangan/kesan tertentu. Pemberian nama tersebut dapat saja berupa kenangan atau kesan masa lalu, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan (kepahitan/penderitaan). Atau juga berkaitan dengan harapan masa yang akan datang, maupun berkaitan dengan komunikasi biogenetics. Pemberian nama ini didasarkan pada aetiologis dan saga. Aetiologis (dalam bahasa Yunani artinya keterangan atau sebab), yang ceritanya tidak hanya menerangkan asal-usul, tetapi juga menerangkan hal lain, sedangkan saga adalah cerita turun temurun yang berisi tentang perjalanan individu/kelompok, dan juga norma-norma yang berlaku terhadap individu/kelompok bersangkutan.
Secara etimologis (sejarah asal-usul kata), Langowan berasal dari kata rangow (bahasa Tountemboan) yang berarti lobang. Rangowan (berlobang) dalam hal ini bukan pada gunung, tanah, atau bench lainnya, tapi maksudnya berlobang pada bagian pokok kayu. Konon kayu yang berlobang itu, terletak di tengah pusat kota seperti sekarang ini, yaitu tepat di Gereja GMIM Sentrum (Jemaat Schwarz) sekarang.
Di Langowan pada masa itu memang banyak ditumbuhi pepohonan dan tanaman lainya. Di antaranya pohon we'tes (pohon beringin). Di batang pohon inilah terdapat lobang tersebut. Dan di pohon ini pulalah menjadi pusat penyembahan orang-orang Langowan kepada dewa-dewa (opo-opo), termasuk juga kepada Amang Kasuruan atau si Apo Wanandangka. Dan karena pohon ini dianggap keramat, maka ditempat ini pula dibuat tempat pasoringan. Pasoringan berasal dari kata soringan yaitu alat bunyi yang dibuat dari sebilah bambu (wulut), semacam pipa yang diberi 7 lobang. Apabila dihembuskan angin atau ditiup akan mengeluarkan bunyi. Bunyi tersebut analog dengan bunyi burung Wala'. Jadi Pasoringan berarti tempat memanggil/mendengarkan bunyi burung Wala' oleh para Walian dan Tonaas. Walian adalah para pemimpin agama (Alifur/ agama suku Minahasa). Sedang para Tonaas adalah pemimpin pemerintahan, pertanian, keamanan dan lainnya. Di tempat pasoringan inilah para pemimpin tersebut di atas bertanya dan mendengarkan jawaban, ya atau tidak tentang sesuatu maksud yang ditanyakan. Atau untuk mengetahui apakah yang akan terjadi di hari-hari selanjutnya. Bunyi burung Wala' ini diartikan/diterjemahkan secara bersama-sama oleh Walian dan para Tonaas.
Pada pohon we'tes yang berlobang ini, selain tempat mendengarkan bunyi burung, juga sebagai tempat pareghesan (tempat membawa persembahan/ sesaji). Dengan pengertian, bahwa di tempat inilah mejadi pusat kegiatan keagamaan dan pemerintahan.
Caranya ialah para Walian bersama umat datang berkumpul untuk memuja para opo dan si Amang Kasuruan, dengan membawa sesajian/persembahan (raghesan). Sedangkan para Tonaas menggunakannya sebagai tempat pertemuan rakyat untuk mendengarkan perintah atau aturan yang harus dilaksanakan. Dan biasanya perintah itu dilakukan melalui palakat/pengumuman: ma umung asi we'tes rangow.
Orang yang bermaksud berkumpul untuk membawa persembahan dan memuja serta mendengarkan perintah, awalnya dari mereka bermukim di Mawale (kini bagian kiri dari Desa Tounelet), yang terletak di bagian selatan pohon tersebut. Jaraknya dari pohon we'tes rangowan itu kira-kira 600 depa.
Ketika para pendatang dari Eropa mulai menginjakkan kakinya di Langowan, merekapun mulai mendengar ucapan kata rangow tersebut. Dan oleh karena orang Eropa kurang mampu menyebut huruf "r" dengan jelas, maka sebutan rangow menjadi langow, dan juga rangowan, menjadi langowan. Lama kelamaan akhirnya tempat itu beserta penduduknya disebut dengan Langowan, sampai pada saat ini.
Namun sumber lain juga mengungkapkan bahwa kata langow berasal dari kata lagow yang artinya anoa. Karena konon di Langowan dulunya banyak binatang khas Sulawesi tersebut.
Pertengahan abad XVIII penduduk makin bertambah, maka terjadilah migrasi dari pemukiman Mawale ke utara dan ke timur, serta ke tempat lainnya. Maka mereka yang ke utara membentuk pemukiman baru, sehingga muncullah kampung Waleure, yang ke kampung Amongena dan Wolaang. Dan yang dari Waleure ada yang ke barat daya, menjadi kampung Koyawas. Zaman dimana penduduk pertama hidup di Langowan selanjutnya berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda.
Kedatangan J.G. Schwarz di Langowan membawa perubahan yang besar, khususnya berkaitan dengan hidup keagamaan orang Langowan, dan orang Minahasa umumnya. Di Langowan khusunya, pusat penyembahan agama Alifuru (raghesan dan tempat bertanya pada burung), diubahnya menjadi pusat pelayanan Kristiani (Nasrani). Di tempat itulah Schwarz mendirikan gereja sebagai tempat peribadatan kepada Tuhan Allah di dalam Yesus Kristus. Tempat peribadatan itu masih berdiri sampai sekarang, yaitu Gereja Sentrum (Jemaat Schwarz) langowan).
SEJARAH PEMERINTAHAN DI LANGOWAN
Sebagaimana telah dituturkan sebelumnya, di Langowan awalnya penduduk bermukim di Palamba, Rumbia, Temboan dan Mawale. Khusus yang mendiami Mawale, kemudian sebagiannya membuka perkebunan baru dengan berpindah tempat, sehingga membentuk pemukiman baru, seperti Waleure, Walantakan, Amongena, Wolaang dan lainnya.
ebelum tahun 1828 sudah ada sekitar 5 tempat pemukiman, yaitu Mawale, Waleure, Walantakan, Palamba dan Talawatu (kemudian menjadi Temboan). Pemukimanpemukiman itu masing-masing dikepalai oleh seorang Tonaas. Dan kepala-kepala dari para tonaas ini adalah seorang Walak (kepala suku). Para Walak yang disebut-sebut pernah memimpin adalah: Rambijan, Robot, Tumbaijlan dan Tawaijlan.
Tahun 1829 Fiskal Irot diangkat menjadi Major dalam jabatan Kepala Distrik oleh Residen Manado Peternat. la memerintah sebagai Hukum Besar mulai 1829 hingga 1841. Pada saat itu perkampungan baru terus bermunculan, yaitu Amongena, Wolaang, Koyawas, Tounelet dan Atep. Sehingga tercatat ada sembilan kampung. Dan setiap desa dipilih dan diangkat Hukum Tua.
Tahun 1841-1847 A. Tendap Saerang menjadi Hukum Besar, dan Bastian Thomas Sigar diangkat menjadi Hukum Kedua oleh Residen Cambier dan Opzier Tondano Benseijder.
Pada Pebruari 1848 Bastian Thomas Sigar diangkat menjadi Major/Hukum Besar oleh Resident Van Nolpen, sedangkan P. Kumolontang menjadi Hukum Kedua. Tahun 1852 N. Pandeirot juru tulis Wolaang diangkat menjadi juru tulis Distrik oleh Resident Scherjas.
Tahun 1853 P. Kumolontang meninggal, dan digantikan oleh Laurenst A. Sigar. Tahun 1854 bertambah satu kampung, yaitu Rumbia. Jadi sudah ada 10 kampung. Tahun 1861 Conteleur Riedel di Tondano mengangkat N. Pandeirot menjadi Hukum Tua Walantakan, Paulus Saerang Hukum Tua Waleure dan Benyamin Sigar Hukum Tua Amongena.
Januari 1870 L.A Sigar diangkat menjadi Majoor/Hukum Besar oleh Resident Deance, dan Desember 1870 N. Pendeirot diangkat menjadi Hukum Kedua. Bersamaan dengan itu pemukiman di Tumaratas menjadi kampung.
Sejak 1870-1884 ketika L.A Sigar sebagai Hukum Besar, rakyat diperintah menanam kopi. L.A Sigar meninggal 2 Mei 1910 (kuburnya ada di Tompaso).
Pebruari 1884 N. Pandeirot diangkat menjadi Majoor/Hukum Besar oleh Residen Jansen, sedangkan Hukum Kedua tidak lagi diangkat. Pandeirot bertugas hingga 1891. Di waktu pemerintahan N. Pandeirot bertambah satu kampung, yaitu Lowian (1887). Jadi sudah ada 12 kampung/desa.
Selanjutnya N. Pandeirot digantikan oleh Major Nicolaas E. Mogot yang sebelumnya Hukum Kedua Remboken dan Kakas. Sedangkan Hukum Kedua diangkat R. Maringka/W. Warokka oleh Residen/Conteleur Adam. Pada masa N. Mogot memerintah, bertambah beberapa kampung, yaitu Sumarayar (1888), Karondoran (1898), Walewangko (1898), Manembo (1899), Teep dan Paslaten (1900). Sehingga menjadi 19 kampung/desa.
Tahun 1904-1911 Hukum Besar Ever Gradus Mogot dan Hukum Kedua Palengkahu. Bertambah satu desa, Noongan. Sehingga menjadi 19 desa.
1912-1919 Hukum Besar A.W. Ingkiriwang dan Hukum Kedua Sahelangi/J. Loho Sesudah 1919 maka negeri Langowan menjadi onder-distrik. Tahun 1920 bertambah desa Tempang, sehingga Langowan menjadi 20 desa. Mulai 1922 Hukum Tua tidak lagi ditunjuk tapi dipilih.
1923-1926 Wakary menjadi Hukum Kedua.
1926-1930 Masa P. Pandeiroth kedua, bertambah desa Winebetan.
1930-1935 W. Momuat Hukum Kedua.
1935-1937 B.C. Lasut Hukum Kedua.
1937-1940 G.P.A. Wenas Hukum Kedua.
Pada waktu pendudukan Jepang (Perang Dunia II), No' Mogot diangkat menjadi gunco (Hukum Besar). Bertambah desa Karumenga (1942).
1941-1943 No'Mogot Hukum Besar.
1943-1946 B.Lapian Hukum Besar.
1946-1949 A.R. Warouw Hukum Kedua. Bertambah desa Raringis (1946), desa Taraitak dan Ampreng (1947).
1949-1951 Lumanauw Hukum Kedua. Bertambah desa Kaayuran Atas (1950).
1951-1953 A. Wenas Hukum Kedua.
1953-1954 A. Tambajong Hukum Kedua. Bertambah desa Toraget (1954)
1955 M.H.W. Dotulong Hukum Kedua
1956 A. Kumolontang Hukum Kedua
1957 P.V. Kembuan Hukum Kedua
1957-1958 H.D.N Massie Hukum Kedua.
1958-1959 J.A. MonintjaHukum Kedua
1960-1962 R.C. Assa Hukum Kedua
1962-1966 A.J. Malonda Hukum Kedua
1966-1967 W. Tamengkel, BA Hukum Kedua
1967-1970 N.J. Rumengan Hukum Kedua
1970-1977 H.D.N. Massie Hukum Kedua/Camat
1977-1983 J.F. Lalujan Camat. Desa Amongena dimekarkan menjadi dua (Amongena I dan Amongena II) sesuai SK Gubernur No. 28 tanggal 28 Desember (Amongena II jadi definiti fl. Jumlah desa menjadi 28.
1983-1987 F. Mangundap, BA. Camat
1987-1990 Drs. F.H. Tampi, Camat
1990-1993 Drs. P. Besouw, Camat.
1993-1996 Drs. S.E. Tambajong, Camat
1996-1999 Drs. S.W.Z. Poluan, Camat
1999-2001 Drs. Johan Watti, Camat
2001-2002 Drs P.D. Sumampouw, Camat. Kecamatan Langowan dimekarkan menjadi dua kecamatan pada 5 November 2001 (kecamatan Langowan Timur dan Kecamatan Langowan Barat). Desa Kopiwangker bertambah (2002).
Dengan pemekaran tersebut Langowan Timur memiliki 15 desa, dan Kecamatan Langowan Barat 14 desa.
Ke-15 desa di Langowan Timur adalah Amongena I, Amongena II, Wolaang, Waleure, Tempang, Toraget, Karumenga. Sumarayar, Karondoran, Teep, Atep, Manembo, Palamba, Rumbia dan Temboan. Sedang 14 desa di Kecamatan Langowan Barat adalah Nonongan, raringis, Ampreng Tumaratas, Taraitak, Walantakan, Paslaten, Koyawas, Lowian, Walewangko, Tounelet, Winebetan, Kayuran Atas dan Kopiwangker.
2001-sekarang Drs. P.D. Sumampouw, Camat Langowan Timur
2001-... Drs. Alex Slat, Camat Langowan Barat
LANGOWAN DALAM SEJARAH
Nama Langowan sudah sangat dikenal, baik di Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia, bahkan sampai di luar negeri. Terkenalnya Langowan berkaitan dengan sejarah, baik berkaitan dengan demografi, geografi, agama (penginjilan) maupun hal-hal lain yang terkait dengan budaya, ekonomi, politik dan lain sebagainya.
Terkenalnya Langowan, bahkan sampai di luar negeri, berhubungan dengan hadirnya orang-orang Langowan di berbagai tempat, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Beberapa waktu lalu harian Manado Post memberitakan bahwa orang Minahasa yang berada di Amerika Serikat terbanyak adalah orang-orang yang berasal dari Langowan. Di berbagai tempat di Indonesia dan juga di luar negeri pun orang-orang Langowan selalu membentuk perkumpulan negeri dengan nama Rukun Langowan.
Nama Langowan sebagaimana banyak ditulis berasal dari kata "rangouw". Kata rangouw ini untuk menunjuk kayu besar berlubang yang dulunya terletak di tengah kota Langowan, yaitu di Gereja Sentrum (Jemaat Schwarz) sekarang. Kayu berlubang itu dalam bahasa Tountemboan disebut dengan rangouw. Dalam penuturan sejarah, oleh karena orang Belanda dan juga orang Eropa lainnya tidak bisa menyebut huruf "r" dengan jelas, maka sebutan rangouw yang terdengar adalah "langouban". Dan dari kata "langouan" itulah akhirnya menjadi kata Langowan.
Sebelum muncul kata Langowan, ada pula tulisan yang menyebut dengan sebutan Langouban. Hal ini dapat dilihat dari sejarah ketika terjadi perjanjian antara VOC dan bangsa Malesung dalam naskah 10 Januari 1679/10 September 1699.
Vrydag 19 April 2013
Galeri Foto Permesta: Peta & Doi Permesta
Logo rokok Permesta yang dibuat oleh Tarcy Paat. Menjadi merek rokok "Permesta" yang beredar di hutan-hutan 1958-1960.
Peta Wilayah Operasi Permesta 1958-1961.
Peta Gerakan Tentara Pusat menghadapi Tentara Permesta pada 1958.
Doi PRRI-Permesta Rp 100,-
Doi PRRI-Permesta Rp 500,-
Perangko PRRI-Permesta Rp 1,-
Perangko PRRI-Permesta Rp 2,-
Donderdag 18 April 2013
Woensdag 17 April 2013
Galeri Foto Minahasa: Para Hukum Besar/Majoor Distrik di Minahasa
Hukum Besar/Patih Hein C. Mantiri
Mantan Bupati Minahasa
Mantan Bupati Minahasa
Hukum Besar/Majoor Toulour E.J.S. Lumanauw
Hukum Besar/Majoor Tonsea E.H.W. Pelenkahu
Hukum Besar/Majoor Kawangkoan Carolus A. Waworuntu
Hukum Besar/Majoor Amurang F. Ompi
Hukum Besar Kakas-Remboken Albert Inkiriwang
Opa dari Mayjen TNI. Purn Albert Inkiriwang.
Opa dari Mayjen TNI. Purn Albert Inkiriwang.
Hukum Besar Manado N.W. Wakkary.
Majoor Bintang Albertus Lasut Waworuntu.
Majoor Sonder
Anggota Volksraad 1919-1923.
Majoor Sonder
Anggota Volksraad 1919-1923.
Hukum Besar Tomohon Lucas Werwer Wenas.
Asal usul fam WENAS dari Tomohon.
Asal usul fam WENAS dari Tomohon.
Dinsdag 16 April 2013
Galeri Foto Minahasa: Sekolah Pertukangan (Ambachsschool) di Wasian Kakas 1920an
Gedung Sekolah Pertukangan (Ambachsschool) di Wasian Kakas tahun 1920an.
Siswa Sekolah Pertukangan (Ambachsschool) di Wasian Kakas (tahun 1920an) sedang menerima pelajaran teori.
Maandag 15 April 2013
Galeri Foto Minahasa: Masa Pendudukan Jepang 1942
Foto-foto Pendaratan Balatentara Jepang di Manado 11 Januari 1942:
Kiri: Pasukan terjun payung, pendaratan di Manado, pendudukan pusat Tomohon (tentara Jepang menurunkan logistik di depan gereja Sion),
Kanan: Pertemuan tentara Jepang dengan Hukum Besar/Kedua se Minahasa Tengah/Selatan di Langowan tgl 12 Januari 1942, Balatentara Jepang mendirikan monumen di depan Gereja Sion Tomohon & foto bersama saat peresmiannya, Huku-gunco Tomohon R.C.L. Lasut berfoto dengan para perwira Jepang di Tomohon.
Kiri: Pasukan terjun payung, pendaratan di Manado, pendudukan pusat Tomohon (tentara Jepang menurunkan logistik di depan gereja Sion),
Kanan: Pertemuan tentara Jepang dengan Hukum Besar/Kedua se Minahasa Tengah/Selatan di Langowan tgl 12 Januari 1942, Balatentara Jepang mendirikan monumen di depan Gereja Sion Tomohon & foto bersama saat peresmiannya, Huku-gunco Tomohon R.C.L. Lasut berfoto dengan para perwira Jepang di Tomohon.
Sondag 14 April 2013
Galeri Foto Minahasa: Watu im Pinawetengan 1888 & J.Alb.T. Schwarz
Watu Pinawetengan tahun 1888 dikunjungi para insiator penggalian kembalinya.
Ds. Johann Albert Traugott Schwarz (Oud-Hulppredikker / bekas Penolong Injil di Sonder): ".. di mana pada bagian pinggir sebelah Barat saya sendiri berfoto (memakai topi) di samping paendo-tua (tonaas/walian) negeri Kanonang - Joel Lumenta (berbaju putih tanpa topi) muka mengarah ke timur..."
(dikutip dari Watu Rerumeran ne Empung tahun 1896, dalam Tijdschrift Biblegenotschap no. 40).
Waktu tahun 1888 itu ukurannya adalah: panjang 1,5 meter, lebar 1 meter, tinggi 2 meter.
Ds. Johann Albert Traugott Schwarz (Oud-Hulppredikker / bekas Penolong Injil di Sonder): ".. di mana pada bagian pinggir sebelah Barat saya sendiri berfoto (memakai topi) di samping paendo-tua (tonaas/walian) negeri Kanonang - Joel Lumenta (berbaju putih tanpa topi) muka mengarah ke timur..."
(dikutip dari Watu Rerumeran ne Empung tahun 1896, dalam Tijdschrift Biblegenotschap no. 40).
Waktu tahun 1888 itu ukurannya adalah: panjang 1,5 meter, lebar 1 meter, tinggi 2 meter.
Vrydag 12 April 2013
Galeri Foto Minahasa: Manado Tempo Doeloe
Monumen Dotu Lolong Lasut 2008.
Jl Samrat Gedung Minahasaraad 1980-an.
Rumah dinas Gubernur Sulut di Bumi Beringin Manado 1970an.
Bendar Manado 1970an (TKB).
Gedung Kantor Gubernur Sulut tahun 1960an.
Sekarang Matahari Dept. Store.
Sekarang Matahari Dept. Store.
Suatu rapat akbar Permesta di Manado 1957.
PERMESTA HUT RI ke-12 di lapangan Sario Manado 17 Agustus 1957.
Luchtfoto van Manado 24 - 1 - 1949.
Kantor Mdo - Gedung Pingkan Store 1947.
Sekarang kantor BNI 46.
Baai van Manado, Celebes Juli 1947.
Kunjungan Gubernur Generaal de Jonge di kediaman Residen Manado 30 September 1934.
Het ziekenhuis aan de Hospitaalweg 1930an.
Sekarang Hotel Sintesa Peninsula.
Sekarang Hotel Sintesa Peninsula.
Fort Nieuw Amsterdam Bastion 1930an.
kota Manado dari udara 1930.
Een deel van de haven van Manado, met linksboven het havenkantoor annex politiepost 1930.
De weg bij fort Nieuw Amsterdam 1930.
Paardenraces te Menado. In het midden resident H.J. Schmidt 1927.
busstation in de Manado 1924
1905 AkManadoSingkilbrucke1905 - Jembatan Singkil Tahun 1905.
1875 Gezicht over Menado.
Pemandangan kota Manado 1875.
Pemandangan kota Manado 1875.
1850an baie manado (J.S.C. Dumont D'Urville)
Teken in op:
Plasings (Atom)