Kisah
ini berdasarkan kisah nyata tentang seekor anjing bernama Hachiko.
Kisah Hachiko sendiri sudah cukup lama. Dia lahir di tahun 1923 di
sebuah perfektur bernama Akita. Lalu seorang profesor bernama Hidesaburo
Ueno yang saat itu berusia 53 tahun memeliharanya. Di rumah keluarga
Ueno yang berdekatan dengan Stasiun Shibuya inilah kisah Hachiko
dimulai.
Saat
Hachi mulai tumbuh besar sudah menjadi kebiasaan ketika Profesor Ueno
berangkat bekerja, Hachi selalu mengantar kepergian tuannya hingga ke
depan pintu Stasiun Shibuya. Di petang hari saat jam pulang kerja, Hachi
kembali datang ke stasiun untuk menjemput dan menunggu kedatangan
Profesor Ueno. Hal ini terjadi berulang-ulang setiap hari.
Pada
21 Mei 1925, seusai mengikuti rapat di kampus, Profesor Ueno mendadak
meninggal dunia. Tetapi Hachi masih tidak mengerti kalau Profesor Ueno
sudah meninggal. Setiap hari, sekitar jam kepulangan Profesor Ueno,
Hachi terlihat duduk menunggu kepulangan majikannya di depan pintu
Stasiun Shibuya. Tubuhnya pun mulai menjadi kurus dan tidak terurus.
Beberapa kerabat Profesor Ueno beberapa kali menjemput dan mengambilnya,
tetapi Hachi selalu kembali lagi ke Stasiun Shibuya menunggu kedatangan
tuannya.
Pada
tahun 1932, kisah Hachi menunggu majikan di stasiun mengundang
perhatian Hirokichi Saito dari Asosiasi Pelestarian Anjing Jepang.
Prihatin atas perlakuan kasar yang sering dialami Hachi di stasiun,
Saito menulis kisah sedih tentang Hachi. Artikel tersebut dikirimkannya
ke harian Tokyo Asahi Shimbun, dan dimuat dengan judul Itoshiya roken
monogatari (“Kisah Anjing Tua yang Tercinta”). Publik Jepang akhirnya
mengetahui tentang kesetiaan Hachi yang terus menunggu kepulangan
majikan. Setelah Hachi menjadi terkenal, pegawai stasiun, pedagang, dan
orang-orang di sekitar Stasiun Shibuya mulai menyayanginya. Sejak itu
pula, akhiran “ko” (“sayang”) ditambahkan di belakang nama Hachi, dan
orang memanggilnya “Hachiko”.
Sekitar
tahun 1933, kenalan Saito, seorang pematung bernama Teru Ando tersentuh
dengan kisah Hachiko. Ia ingin membuat patung untuk Hachiko. Patung
perunggu Hachiko selesai dibuat dan diresmikan tahun 1934, diletakkan di
depan Stasiun Shibuya
Selama
9 tahun lebih, setiap hari Hachiko muncul di stasiun Shibuya pada pukul
3 sore, saat dimana dia biasa menunggu kepulangan tuannya. Namun
hari-hari itu adalah saat dirinya kecewa karena tuannya tidak kunjung
datang. Sampai pada suatu pagi tanggal 8 Maret 1935, Hachiko, 13 tahun,
ditemukan sudah tidak bernyawa di jalan dekat Jembatan Inari, Sungai
Shibuya. Tempat tersebut berada di sisi lain Stasiun Shibuya dimana
Hachiko biasanya tidak pernah pergi ke sana. Hachiko sudah mati.
Kesetiaannya kepada sang tuannya pun terbawa sampai mati.
Warga
yang mendengar kematian Hachiko segera berduyun-duyun ke stasiun
Shibuya. Mereka umumnya sudah tahu cerita tentang kesetiaan anjing itu.
Mereka ingin menghormati untuk yang terakhir kalinya. Upacara perpisahan
dengan Hachiko dihadiri orang banyak di Stasiun Shibuya, termasuk janda
almarhum Profesor Ueno, kerabat dekat, dan penduduk setempat. Biksu
dari Myoyu-ji diundang untuk membacakan sutra. Upacara pemakaman Hachiko
berlangsung seperti layaknya upacara pemakaman manusia. Hachiko
dimakamkan di samping makam Profesor Ueno di Pemakaman Aoyama. Bagian
luar tubuh Hachiko di offset, dan hingga kini dipamerkan di Museum of
Nature and Science Tokyo.
Anjing
luar biasa! agak sedikit mencengangkan bagi saya seekor anjing begitu
setia menunggu kedatangan tuannya selama kurang lebih 9 tahun.
Mencengangkan karena seekor anjing memiliki kesetian dan kecintaan yang
begitu besar menunggu kedatangan tuannya selama hidupnya dengan ikhlas
tanpa ada rasa pamrih. Sesuatu yang ditunjukan oleh binatang ciptaan
Tuhan yang kadang dipandang hina oleh sebagian manusia, bahkan dijadikan
bahan kata cacian yang kasar untuk menghina atau mencaci orang lain.
Sekarang saat dunia semakin padat dengan persaingan, kisah Hachiko mungkin bisa jadi renungan. Kesetiaan, saling menghormati dan keihklasan yang sekarang mulai jarang terlihat diantara manusia ternyata banyak ditunjukan oleh hewan yang ada disekitar kita, suatu bukti bahwa Tuhan masih sabar mengajarkan manusia melalui ciptaan-Nya untuk saling menghargai, menjunjung kesetiaan dan mengasihi sesamanya dengan penuh keikhlasan.